Heboh kasus babi ngepet yang melibatkan paranormal Wati, yang muncul di lokasi dan mengaku mengenal sosok manusia di balik babi 'jadi-jadian' itu masih mendapat sorotan banyak pihak.
Wati diketahui viral gegara menuding tetangganya menjalani ritual pesugihan babi ngepet lantaran si tetangga menurutnya menganggur tetapi kaya, dan hal itu berbuntut panjang.
Bumbu cerita Wati ini juga membuat warga di tempat tinggalnya di Kampung Baru,Desa Ragajaya Kecamatan Bojonggede Kabupaten Bogor, geram karena asal tuding.
Warga masih tidak terima meski Wati meminta maaf, dan mengusirnya dari wilayah tersebut.
Guru Besar Fisip Unair Hendry Subiakto termasuk yang menaruh perhatian atas kasus ini. Dia menyebut, inti beragama yang baik adalah membiasakan berprasangka baik pada Allah dan manusia lain. Bukan sebaliknya.
Kalau ada orang suka menuduh, mengedepankan prasangka buruk, maka yang seperti itu adalah cara beragama yang tidak baik.
Pernyataan Hendry Subiakto ini menyinggung terkait fenomena babi ngepet di Depok, Jawa Barat yang begitu hebohnya. Semakin melebarnya perbedaan kelas sosial ekonomi masyarakat seringkali memunculkan konflik horizontal.
“Apalagi ditambah perbedaan primordial, kelas yang kaya dan sukses lebih banyak dari ras & agama tertentu. Perbedaan kelas plus agama & ras sering digunakan jualan ideologi populis untuk narik mayoritas, dengan politik identitas,” cuitnya di Twitter dikutip pada Jumat (30/4).
Lebih detail ia menjelaskan, jika tetangga lebih kaya kemudian dituduh punya pesugihan semacam babi ngepet, pelihara tuyul dan lain-lain bukan merupakan hal yang baru terjadi.
“Jika tetangga yang lebih kaya, dituduh Babi Ngepet, pelihara Tuyul, Buto Ijo, Nyai Blorong, nyegik dll. Itulah wujud konflik antar klas sosial yang sudah lama ada. Ketidaksukaan pada orang yang kaya, yang sukses, dulu mudah dimanfaatkan Komunis untuk menjual ideologi sama rata sama rasa,” tandasnya dikutip dari Fajar. (endra/fajar/ima)