Kewirausahaan (entrepreneurship) tidak terjadi begitu saja tetapi hasil dari suatu proses yang panjang dan dimulai sejak beliau (Muhammad) masih kecil. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Collin dan Moores (1964) dan Zalzenzik (1976) yang mengatakan bahwa, The act of entrepreneurship is an act patterned after modes of coping with early childhood experience.
Pendapat seperti dialami oleh kebanyakan guru leadership yang sepakat bahwa apa yang terjadi pada tahun-tahun pertama kehidupan akan membuat perbedaan yang berarti dalam periode kehidupan berikutnya.
Untuk menjadi seorang entrepreneur tidaklah semudah membalikkan telapak tangan semuanya harus berproses fase demi fase dan membutuhkan kerja nyata bukan hanya sebuah wawasan belaka.
Untuk menumbuhkan jumlah entrepreneur di Indonesia yang baru berjumlah 0,18 persen memang menjadi tanggung jawab utama pemerintah sebagai pemegang kebijakan. Pemerintah berkewajiban memotivasi generasi mudanya untuk bisa menjadi pencari tenaga kerja dibanding menjadi pencari kerja.
Namun motivasi saja tidak cukup, perlu adanya proses edukasi kepada pemuda karena dengan banyaknya pengetahuan akan memudahkan untuk membuat inovasi. Untuk mewujudkan inovasi tersebut maka harus diberikan fasilitas untuk menyalurkan inovasi yang ada.
Baik dalam bentuk sarana prasarana maupun barang modal. Proses inovasi akan mandeg tanpa adanya stimulus, maka apresiasi menjadi mutlak dibutuhkan untuk meotivasi kembali para innovator atau entrepreneur.
Keberadaan entrepreneur dalam sebuah perekonomian sangatlah vital, sehingga muncul sebuah teori yaitu, untuk menjadi negara maju minimal dibutuhkan 2,5 persen dari total penduduk yang menjadi entrepreneur. Indonesia hingga hari ini baru mampu melahirkan 0,18 persen entrepreneur, maka untuk mengejar kekurangannya masih diperlukan upaya keras untuk mencapai ke sana. (adv/ima)