Orangnya memang pede. Sangat pede. Karena itu dia tidak mungkin jadi bawahan. Dia hanya sebentar jadi dosen di FK UI. “Saya tidak bisa kalau harus absen pagi dan sore,” kata Tifa.
Sebagai orang yang akan mendasarkan penelitiannya pada kitab suci, Tifa termasuk ilmuwan yang bisa menerima metode penelitian Terawan: empiric base.
Menurut Tifa, harus ada leveling di bidang penelitian. Tidak harus semua penelitian harus seperti disyaratkan BPOM. Penelitian seketat BPOM itu bisa dimasukkan level yang tertinggi kedua setelah holy research. Lalu harus dibuat model penelitian level berikutnya.
Meski bisa menerima model penelitian Terawan mengenai Xxx (saya sudah berjanji untuk tidak menulis kata VakNus) itu, Tifa tetap usul pada Terawan –lewat saya.
“Janganlah menggunakan istilah VAKSINASI bagi metode dendritic cells immunotherapy,” tulis Tifa pada saya.
Tifa pun bercerita kenapa: karena dari asal katanya saja, vaccination artinya metode untuk memasukkan kuman (virus) yang berasal dari sapi (Vacca) kepada tubuh manusia.
Waktu itu, pionir vaksinasi, Edward Jenner, di tahun 1789, memasukkan Virus Variola dari Kuda (loh gimana sih kok malah kuda?) ke tubuh seorang remaja usia 15 tahun. Nama remaja kecil itu James Phepps. Itu untuk melihat apakah si James bisa mendapatkan kekebalan yang diharapkan.
James Phepps, waktu itu berumur 6 tahun, meninggal di usia 21 tahun.
Anak Edward Jenner sendiri, Janner, jadi kelinci percobaan bapaknya. Sang anak diberi injeksi kuman Variola setiap tahun. Janner, anak Edward itu, meninggal akhirnya. Kena pneumonia. Sad story.
“Jadi, saya usulkan ke Pak Terawan pakai saja nama Dendritic Cells Immunotherapy (DCI). Itu lebih bagus dan lebih tepat,” tulis Tifa.
Untuk mudahnya lantas sebut saja I-Nu (Imunoterapi Nusantara). Nama I-Nu bisa lebih keren dan lebih millennial dari pada istilah Vaknus.
“I-Nu kalau diucapkan kan seperti I know. Saya tahu. Keren sekali,” kata Tifa.
Usulnya itu berdasar: ”Karena memang tidak ada sedikit pun virus atau pun potongan virus atau virus sintetis atau printing DNA atau spike atau apa pun dari virus itu yang masuk ke tubuh manusia,” tulis Tifa.
Lebih mendasar lagi, Tifa ingin I-Nu bisa mengakhiri sejarah teknologi vaksin. Yang umur penemuannya sudah 200 tahun. Era vaksin, kata Tifa, seharusnya sudah lewat.
I-Nu itu, kata Tifa, bisa membuat sejarah baru peradaban manusia. Yakni sebagai suatu terapi personalized sekaligus sebagai tonggak penting.
I-Nu bisa diartikan sebagai dimulainya “Era Personalized Medicine atau Precision Medicine. Yakni Kedokteran Abad 21. Yang lebih mengutamakan pendekatan personal bagi setiap kasus yang dihadapi setiap manusia”.