Oleh: Dahlan Iskan
INI bisa dibilang mengejutkan, pun bisa dibilang tidak. Sudah agak lama para pengamat ekonomi memprediksi: BUMN kelompok infrastruktur tinggal tunggu waktu. Sulit atau sulit sekali.
Tapi kondisi sebenarnya memang masih harus menunggu terbitnya laporan keuangan kinerja tahun 2020. Toh mereka pasti mengumumkannya kepada publik. Mereka perusahaan publik –ada keharusan untuk itu.
Yang ditunggu itu tiba. Selasa lalu. Hari itu terbit laporan keuangan mereka. Semuanya menjadi jelas. Waskita Karya misalnya, rugi tidak kepalang tanggung: sampai Rp7 triliun.
Wijaya Karya tidak sampai rugi. Tapi labanya terjun bebas: dari Rp2,2 triliun menjadi kurang dari Rp200 miliar. PT PP turun dari Rp 800 miliar tinggal Rp128 miliar. Pun BUMN infrastruktur yang lain.
Pekerjaan infrastruktur memang gegap gempita tahun-tahun terakhir. Tapi bisnis tetaplah bisnis: punya perilakunya sendiri. Dan perilaku itu bersumber dari satu napas: uang.
Pekerjaan jalan tol misalnya, memang luar biasa banyak. Mereka bisa memiliki sendiri tol itu atau hanya mengerjakan milik orang lain.
Sebagian BUMN infrastruktur ngeri dengan besarnya modal yang harus disiapkan. Mereka memilih jadi kontraktor saja. Tapi ada BUMN yang ambisius sekali: memiliki tol itu sekaligus mengerjakannya. Uang bisa dicari, kata mereka.
Tapi sekuat-kuat pengusaha infrastruktur, kelas Indonesia, tetap saja harus mengandalkan sumber dana dari pihak ketiga: bank dan obligasi. Atau right isu di pasar modal.
Tapi sekuat-kuat bank ia harus tunduk pada peraturan di bidang perbankan: ada batas dalam jumlah pemberian kredit pada satu grup perusahaan –one obligor.
Dana bank adalah napas nomor satu mereka. Maka ketika perusahaan sudah tidak bisa lagi pinjam dana bank –karena sudah mencapai batas atas-- bencana tahap 1 pun datang.
Katebelece dari dewa pun tidak akan ditakuti bank.
Ketika bencana tahap 1 itu datang, harapan tinggal pada obligasi, MTM dan sejenisnya. Tapi pemilik dana obligasi pun tahu: mana perusahaan yang masih bisa cari pinjaman bank dan mana yang sudah mentok.
Di sini pemilik dana obligasi bisa memainkan bunga. Dana bisa saja tetap tersedia –asal bunganya tinggi.
Tahap 2 itu pun ada batasnya: sampai obligasi itu jatuh tempo. Begitu perusahaan terbukti gagal bayar obligasi pilihannya tinggal pada satu lubang: menerbitkan obligasi baru dengan bunga lebih tinggi lagi.