Itulah kenangan manis bersama Boeing 747. Tidak lama lagi pesawat jenis itu akan hilang dari langit. Kalah efisien dengan ''adik''-nya, Boeing 777, yang bermesin dua. Yang begitu laris –apalagi kalau tidak ada pandemi lagi.
Tapi Airbus tidak takut untuk tetap membuat pesawat besar bermesin 4. Memang boros bahan bakar tapi pesawat baru itu dibuat besar sekali. Lebih besar dari Boeing 747. Bisa untuk 500 penumpang.
Itulah pesawat A380 –pesawat penumpang terbesar yang pernah dibuat manusia. Yang desainnya dua tingkat –sejak depan sampai belakang. Yang sayapnya agak melengkung –kelihatan anggun sekali.
Sejak ada A380 itu kekaguman saya ke Boeing 747 hilang. Maka, belakangan, setiap kali ke Amerika saya pilih naik Emirate. Lewat Dubai. Itu karena saya tahu: dari Dubai ke New York akan pakai Emirate A380. Hanya dari Jakarta ke Dubai yang menggunakan B777.
Saya selalu mengagumi interior A380 Emirate. Elite sekali. Termasuk pemilihan kombinasi warnanya. Apalagi penataan bar yang ada di bagian tengah pesawat. Lapang sekali. Bisa salat di lantainya –berjamaah enam orang.
Suatu saat saya lagi di Inggris. Ingin langsung ke Beijing. Saya lihat ada penerbangan Amsterdam-Beijing dengan A380. Milik China Southern –????. "Kok Tiongkok juga sudah memiliki A380," kata saya dalam hati. Saya antusias sekali. Saya bayangkan interiornya akan seperti A380-nya Emirate. Maka saya dari London terbang dulu ke Amsterdam dengan pesawat berukuran sedang. Hanya satu jam penerbangan. Tiba di Amsterdam hati saya berkibar-kibar: akan naik A380 lagi.
Tapi begitu masuk pesawat hati saya seperti bara disiram es. Ternyata biar pun sama-sama A380 tidak sama rasanya. Beda selera. Jauh.
Pesawat 380 memang terlalu besar. Akhirnya bisa dibilang tidak sukses. Kenyataan jauh dari asumsi awal. Sampai sekarang hanya diproduksi 251 pesawat A380 –itu pun yang separonya (123) milik Emirate.
Padahal, ketika direncanakan dulu, setidaknya akan ada order 1.200 pesawat. Dalam 20 tahun.
Tahun ini A380 genap 20 tahun. Kenyataannya begitu jauh meleset. Jumlah order tidak sampai 300 pesawat. Maka produksi A380 dihentikan. Yang sudah terjual dijamin pemeliharaannya sampai paling tidak tahun 2035.
Memang A380 benar-benar bisa mengalahkan Boeing 747. Khususnya dalam hal efisiensi. Sama-sama bermesin 4 biaya per kursinya lebih hemat 12 persen.
Kenyataannya order A380 tidak sampai separo dari Boeing 747. Penyebabnya: A380 ini ternyata hanya cocok untuk jurusan kota besar ke kota besar. Point to point.
Padahal banyak penerbangan memerlukan jalur transit. Misalnya London-Beijing-Hangzhou. London-Beijing bisa dengan A380. Tapi rute sambungannya tidak bisa pakai A380 –bandaranya tidak memenuhi syarat.
Dulu, waktu A380 direncanakan, diperkirakan akan banyak bandara yang melakukan up grading. Ternyata tidak.
Justru 10 tahun terakhir muncul pesawat baling-baling yang bisa untuk 70 penumpang: ATR, buatan Prancis. Larisnya bukan main. Mereka inilah yang justru sukses besar.
Maka A380 dinyatakan gagal –secara komersial. Padahal secara ekonomis dan teknologi dinyatakan unggul. Apalagi muncul pandemi. Jangankan order baru. Order lama pun dibatalkan. Emirate yang sudah order sebanyak 167 pesawat, membatalkan sebagian: tinggal 132 pesawat.