Moderator yang tinggal di Belanda, Sisca Holtrop, punya info Baru pula: penyintas Covid di Belanda boleh langsung ikut vaksinasi. Tidak harus menunggu tiga bulan.
Dari Belanda Holtrop mewawancarai Timbul Thomas Lubis yang tinggal di Jakarta. Timbul, awalnya gagal vaksinasi. Itu karena tekanan darahnya 190 –luar biasa tinggi.
Sambil menunggu tekanan darah turun, Timbul tertawa ngakak melihat ada orang yang baru saja selesai vaksinasi. Orang itu heboh mencari kaca matanya yang hilang. Padahal kaca mata itu ada di kepalanya.
"Gara-gara tertawa ngakak tekanan darah saya turun jadi 157. Maka saya pun divaksinasi," ujarnya.
Lia Sundah, istri James, mewawancarai warga kita yang tinggal di Minnesota. Menarik sekali. Dia hari itu baru mendapatkan giliran vaksinasi. Baru kali itu kami punya teman yang berpengalaman vaksinasi Johnson & Johnson.
"Di Minnesota kami disuruh memilih pakai vaksin yang mana," ujarnyi. "Saya pilih Johnson & Johnson. Setelah vaksinasi saya tidak mengalami efek samping apa-apa," katanyi.
Berarti dia hanya perlu suntik sekali itu saja. J&J adalah satu-satunya vaksin yang tidak perlu ada suntikan kedua. Tapi dia masih gundah. Di sertifikat vaksinasinyi hanya tertulis nama pertamanyi. Padahal dia ingin nama di sertifikat itu bisa sama dengan nama di paspor. Siapa tahu akan memudahkan perjalanan antar negara.
Maka petugas di sana menambahkan namanyi dengan ballpoint. Itulah yang membuatnyi gundah. Apakah tulisan tangan tambahan itu nanti tidak menimbulkan persoalan.
Begitu banyak yang di dapat dari forum 1,5 jam itu. Berbeda sekali dengan Zoom saya siang sebelumnya. Soal budaya Tionghoa. Yang sampai tiga jam. Ada satu pembicara yang sampai makan waktu 40 menit. Bahkan Zoom sehari sebelumnya, tentang hari Ginjal Internasional, penuh dengan kata sambutan –sampai tujuh orang. Itu baru sambutannya.
Zoom adalah pertemuan digital. Tapi masih banyak perilaku era nondigital terbawa...
Itulah yang disebut carry over problem. Yang terjadi di banyak persoalan. (*)