Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka peluang menuntut dua mantan menteri yang terlibat korupsi dengan hukuman mati. Hal tersebut menyikapi pernyataan Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej yang menyebut koruptor di tengah pandemi COVID-19 layak dihukum mati.
Edhy Prabowo, eks Menteri Kelautan dan Perikanan yang terjerat kasus korupsi perizinan ekspor benih lobster bereaksi. Dia mengaku tak takut dan siap jika harus divonis hukuman mati. Bahkan hukuman yang lebih berat dari itupun siap diterima jika terbukti bersalah.
"Jangankan dihukum mati, lebih dari itu pun saya siap yang penting demi masyarakat saya," tegasnya di Gedung Merah Putih KPK, Senin (22/2).
Dikatakannya, dalam kasus yang membelitnya akan diserahkan sepenuhnya ke KPK, dan putusan hakim nantinya akan diserahkan ke pengadilan. "Sekali lagi kalau memang saya dianggap salah, saya tidak lari dari kesalahan, saya tetap tanggung jawab," tegasnya.
Ditegaskannya, dia siap menerima semua konsekuensi atas ulahnya. Dia akan membeberkan seluruh kelakuannya dalam kasus suap ekspor benih lobster.
"Saya tidak bicara lantang dengan menutupi kesalahan, saya tidak berlari dari kesalahan yang ada," tegasnya.
Pada kesempatan tersebut Edhy juga membantah apa yang disampaikan KPK terkait kepemilikan villa di Sukabumi, Jawa Barat. Dia mempersilakan KPK menelusuri kepemilikan aset yang telah disita tersebut.
"Ya silakan aja lah (telusuri). Semua kepemilikan itu kan atas nama siapa dan sebagainya juga gak tahu," katanya.
Diakuinya, dia sempat ditawari untuk membeli aset tersebut. Namun urung lantaran terkendala harga yang mahal. "Saya pernah ditawarkan memang untuk itu, tapi kan saya gak tindak lanjuti, harganya mahal juga," katanya.
Bagi mantan Ketua KPK, Agus Rahardjo hukuman yang layak bagi koruptor di masa pandemi adalah dimiskinkan. "Jadi dimiskinkan dulu. Harta yang dinikmati mereka dirampas semua," katanya.
Menurutnya, perampasan kekayaan kedua mantan anak buah Presiden Joko Widodo itu bertujuan untuk menciptakan efek jera, yakni berupa hilangnya eksistensi mereka sebagai warga negara.
Dia meragukan hukuman mati bisa membuat efek jera para koruptor. Dia mencontohkannya pada kasus terorisme. "Saya kalau melihat data itu ragu-ragu. Karena gini, pada waktu hukuman mati itu diterapkan pada teroris, ternyata kurang efektif," ucapnya.
Dia menilai, wacana penerapan hukuman mati terhadap Edhy Prabowo dan Juliari Batubara ambigu, meskipun aturan tersebut membolehkannya. Baginya, sanksi yang paling tepat adalah dimatikannya eksistensi sosialnya seperti yang diterapkan oleh Singapura.
"Apa yang dilakukan Singapura, hukumannya untuk koruptor itu bukan mati, tapi eksistensi sosialnya yang dimatikan dari berbagai segi kehidupan. Bahkan sampai punya rekening saja enggak boleh, punya usaha enggak boleh," tegasnya.
Senada diungkapkan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik. Hukuman mati tidak bisa menimbulkan efek jera dalam kasus apapun. Menurutnya yang terbaik adalah dengan cara mengubah sistem.