Oleh: Solikhah Ernawati
(Mahasiswa Magister Hukum Program Pascasarjana Universitas Pancasakti Tegal)
Ada lima hal yang harus dihindari agar masa depan seseorang tidak hancur. Kelima hal yang dikenal sebagai ‘Malima’ itu terdiri dari Main (berjudi), Maling (mencuri), Madon (bermain perempuan), Mateni (membunuh), dan Madat (mengkonsumsi candu).
Pada ajaran agama tertentu, Madat bahkan disebut sebagai ibunya dosa karena dampaknya yang bisa menghilangkan akal sehat, sehingga seseorang bisa melakukan semua tindak kejahatan yang lain.
Pada masyarakat modern, Madat tidak hanya berhubungan dengan minuman keras tetapi justru lebih dikonotasikan dengan penyalahgunaan Narkotika dan obat-obatan terlarang atau yang biasa disingkat dengan istilah Narkoba.
Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (BNN), penyalahguna Narkoba pada tahun 2019 mencapai 3,4 juta orang. Jumlah yang tidak sedikit itu memiliki latar belakang profesi, usia, dan gender yang beragam, begitu pun dampak penyalahgunaan Narkoba juga menyasar banyak sektor seperti kesehatan, pendidikan, pekerjaan, kehidupan sosial, dan keamanan.
Selain luas sasaran dan dampak yang ditimbulkan, kejahatan Narkotika bahkan bisa dilakukan lintas negara sehingga dilabeli sebagai Extraordinary Crime atau kejahatan luar biasa.
Dalam kriminologi, kejahatan bisa dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa jika memenuhi kriteria: dampak viktimisasinya sangat luas dan multidimensi; bersifat transnasional, terorganisir, dan didukung teknologi komunikasi dan informasi modern; merupakan predicate crimes pidana pencucian uang; memerlukan hukum acara pidana khusus; memerlukan lembaga pendukung penegakan hukum yang bersifat khusus dengan kewenangan luas; dilandasi konvesi Internasional yang merupakan treaty based crimes; dan merupakan super mala per se (sangat jahat dan tercela) sehingga terjadi people condemnation (dikutuk masyarakat) nasional dan internasional.
Tujuh kriteria tersebut terpenuhi sepenuhnya oleh Kejahatan Narkotika. Hal itu pula yang melandasi diperlukannya penanganan khusus kepada korban dan pelaku tindak kejahatan terkait. Berbeda dengan paradigma retributif yang mengendepankan pemidanaan, penegakan hukum secara restoratif lebih mengutamakan perlindungan tanpa menisbikan tiga tujuan hukum, yakni keadilan, perlindungan, dan kemanfaatan.
Melalui pendekatan restoratif, hukum diharapkan tidak dijadikan sebagai alat balas dendam, tetapi perangkat kemanusiaan untuk menegakan keadilan, melindungi HAM, dan memberi manfaat.
Fiat Justisia Ruat Coelum
Meski langit runtuh keadilan harus ditegakan. Pepatah tersebut acap disalah-artikan oleh penegak hukum yang cenderung restoratif. Sehingga hukum terkesan sangat kaku dalam menangani semua perkara. Persepsi inilah yang ingin diperbaiki melalui pendekatan restorative justice penanganan tindak kejahatan narkoba.
Dalam sudut pandang restoratif memungkinkan pecandu, penyalahguna dan korban penyalahguna tidak semuanya dipidana, tetapi direhabilitasi. Hal tersebut merupakan upaya agar mereka mampu kembali menjalani kehidupan yang lebih baik usai menjalani program rehabilitasi. Ironisnya, belum semua masyarakat melihat dan memperlakukan mantan penyalahguna sama seperti anggota masyarakat lain. Begitu pula dunia kerja. Perusahaan dan penyedia lapangan kerja cenderung lebih memilih calon karyawan yang belum pernah bersentuhan dengan Narkoba.
Bahkan tidak jarang yang mengharuskan pelamar kerja menyertakan Surat Bebas Narkoba sebagai syarat administratif mengikuti seleksi kerja. Apakah pilihan mereka salah? Apapun jawabannya akan bersifat debatable. Penyedia kerja memiliki otoritas menentukan kebijakan dan meminimalisir resiko.
Selain itu, menolak mantan penyalahguna juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif agar masyarakat yang belum pernah bersentuhan dengan narkoba untuk tidak melakukannya. Maka pilihan tersebut juga tidak bisa serta merta dianggap sebagai perilaku tidak adil karena cukup alasan dan tidak melanggar peraturan.
Di sisi lain, fenomena tersebut tentu meninggalkan Pekerjaan Rumah (PR) bagi pemerintah untuk bisa memfasilitasi mantan penyalahguna agar tidak kehilangan hak asasinya dalam hidup dan berkehidupan di masyarakat. Program rehabilitasi sebagai tangan panjang restoratif justice tidak boleh berhenti di penanganan Penyalahguna, tetapi juga harus menyasar kepada masyarakat dan lingkungan mantan penyalahguna. Hal tersebut sesuai prinsip sosiologis bahwa benar dan tidak benarnya perilaku seseorang tidak terlepas dari perilaku sosial yang bersinggungan dengan dirinya.
BNN sebagai ujung tombak penanganan Penyalahgunaan dan Pemberantasan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) selama ini berusaha memfasilitasi kebutuhan mantan penyalahguna untuk bisa menjalani kehidupan dengan normal melalui fasilitasi pasca rehabilitasi beserta sistem Intervensi berbasis masyarakat (IBM) dan Agen Pemulihan. Sistem ini memberdayakan Masyarakat potensial untuk turut bersama sama melakukan Rehabilitasi secara Sosial.
Meski masih banyak perbaikan yang perlu direncanakan, diorganisir, dan diimplementasikan, melalui restorative justice diharapkan “lingkaran mati” yang selama ini menjerat penyalahguna dan mantan penyalahguna dapat dibuka.