Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengklaim kinerjanya lebih baik dari pimpinan sebelumnya. Pada periode kepemimpinan Firli Bahuri, KPK mengaku mampu menyelamatkan potensi kerugian negara mencapai Rp592 triliun.
Penegasan tersebut diungkapkan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron. Menurutnya, angka Rp 592 triliun jauh lebih besar dibanding pencapaian yang telah dilalukan pimpinan-pimpinan lembaga antirasuah periode sebelumnya.
"Hasil dari pencegahan yang dilakukan KPK telah menyelamatkan potensi kerugian negara selama satu tahun mencapai Rp 592 T. Ini jauh melebihi lima tahun kinerja periode sebelumnya yang hanya mencapai Rp 63,4 T," tegas Nurul Ghufron dalam keterangan, Selasa (29/12).
Pernyataan Ghufron itu untuk menjawab kritik yang dilayangkan Indonesian Corruption Watch (ICW) yang menyebut penindakan KPK era Firli sudah lemah. Ghufron menegaskan seharusnya, ICW bisa melihat berbagai aspek yang telah dilakukan KPK saat ini.
"ICW tidak melihat kinerja KPK yang hanya dengan kekuatan 25 persen SDM mampu bekerja mengawal dana COVID-19 dan mencapai hasil optimal. Di saat kinerja lembaga lain tengah melambat akibat pandemi yang terjadi," ungkapnya.
Dikatakannya, ICW hanya memandang kinerja dan prestasi KPK dari menangkap koruptor. Dan tidak memilat kinerja KPK berdasarkan pencegahan, apalagi mengedukasi masyarakat untuk sadar dan tidak berprilaku korup.
Ghufron mengatakan, KPK yakin masyarakat lebih dewasa dan komprehensif seleranya dalam pemberantasan korupsi. Sehingga apa yang disampaikan ICW akan bertentangan dengan kesadaran anti korupsi rakyat.
"Rakyat indonesia orang yang sehat sehingga baik yg manis asin maupun kecut harus dilahap, KPK itu didirikan oleh negara dan didanai untuk mencegah dan menindak, karena itu KPK harus menindak kala ada tipikor, namun sebelum terjadinya tipikor nya KPK juga harus mencegah dan menyadarkan penyelenggara negara dan masyarakat untuk tidak korup," katanya.
Meski berhasil menyelamatkan potensi kerugian negara mencapai Rp592 triliun, namun berdasarkan survei terbaru Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyebut sebagaian besar masyarakat menilai korupsi semakin banyak.
Hasil survei yang dilakukan pada 23-26 Desember, menunjukkan, 55 persen publik menilai korupsi semakin banyak dan 13 persen lainnya menilai semakin sedikit. "Sementara 26 persen menilai sama saja," ujar Direktur Eksekutif SMRC Sirojudin Abbas dalam rilis daringnya, Selasa (29/12).
Menurutnya, hasil tersebut tak lepas dari kasus-kasus yang ditangani oleh KPK. Apalagi ketika menyeret dua menteri pada pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).
“Dugaan kasus korupsi di Kementerian Sosial dan Kementerian Kelautan dan Perikanan tampaknya menyumbang bagi penilaian negatif warga tentang korupsi di Indonesia,” ujar Abbas.
Meski demikian, dikatakannya masyarakat puas dengan kinerja Presiden Jokowi. Sebanyak 74 persen mengaku puas, dan 23 persen lainnya mengaku sebaliknya.
Tingkat kepuasan terhadap Jokowi sempat menurun pada medio 7 hingga 10 Oktober lalu saat Undang-Undang Cipta Kerja disahkan, dan diikuti oleh polemik lainnya.
“Namun begitu keriuhan itu selesai, mayoritas warga kembali menunjukkan kepuasannya terhadap presiden dan sekarang mencapai 74 persen," ujar Abbas.