12 lokasi pelatihan kelompok teroris Jamaah Islamiyah (JI) di Jawa Tengah ditemukan Densus 88 Antiteror Polri. Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono mengatakan dari 12 lokasi latihan kelompok JI, salah satunya di Desa Gintungan, Ungaran, Semarang, Jawa Tengah.
Diungkapkannya, salah satu anggota JI lulusan Sasana Bela Diri Ungaran adalah napi teroris Ahmad Hafiz yang telah divonis lima tahun penjara. Hafiz merupakan murid Karso.
Tak hanya bela diri, di sasana itu juga diajarkan cara merakit bom dan menghadapi penyergapan. "Hafiz ini (ikut) pelatihan (di Ungaran) pada tahun 2013. Berangkat ke Suriah pada 2015. Di Suriah selama satu tahun 10 bulan," tutur Argo.
Sementara untuk memberangkatkan para anggotanya ke Suriah, kelompok teroris JI merogoh kocek hingga Rp300 juta. "Karso menyampaikan (biaya) sekitar Rp300 juta untuk sekali keberangkatan ke Suriah. Itu untuk 10 orang hingga 12 orang," katanya.
Dana keberangkatan dan pelatihan diperoleh kelompok JI dari infaq dan iuran para anggotanya. Saat ini ada sekitar 6.000 anggota JI yang aktif.
Mereka biasanya menyisihkan sedikitnya Rp100 ribu per bulan untuk kelompok JI. Bahkan tidak sedikit yang bersedia merogoh kocek dalam-dalam.
"Kalau seumpamanya dia (anggota JI) mengirimkan Rp100 ribu dikali 6.000 orang berarti sudah Rp600 juta. Tapi banyak yang kirim Rp10 juta, Rp15 juta, Rp25 juta. Bervariasi," ungkap Argo.
Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irfan Idris, menilai kelompok JI dalam mengumpulkan dana dilakukan berbagai cara. Seperti yang terungkap dengan menyalahgunakan kotak amal.
Karenanya, dia mengimbau agar masyarakat tidak mudah terbujuk rayu kotak amal dengan simbol-simbol agama. Masyarakat sebaiknya berderma kepada keluarga terdekat atau fakir miskin di sekitar agar tepat sasaran.
"Kalau mau menyumbang, langsung saja ke keluarga dan fakir miskin, langsung tepat sasaran," katanya.
Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia, Islah Bahrawi menjelaskan, kotak amal untuk kegiatan terorisme merupakan bagian kecil dari gerakan menghimpun dana. Yang juga perlu diwaspadai keterlibatan perusahaan swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam pendanaan gerakan terorisme.
"Yang jauh berbahaya (daripada kotak amal) adalah keterlibatan perusahaan besar, swasta, dan negara, yang dikutip dari CSR-nya untuk yang tidak secara langsung pada gerakan militernya (jejaring teroris), tetapi terlibat dalam gerakan untuk tataran doktrin. Kita tidak boleh lengah," kata Islah.
Selain dari kotak amal, pendanaan terorisme pun bisa dihimpun dari berbagai kejahatan. Misalnya, investasi bodong berkedok syariah yang kerap hanya dilihat sebagai kejahatan ekonomi. (gw/zul)