Kita, yang awalnya seperti menang beberapa langkah di depan, mulai terlihat ketinggalan. Kita masih menunggu dan menunggu.
Uji coba tahap 3 di Bandung memang sudah selesai dilakukan. Sebanyak 1.600 orang sudah disuntik. Tapi laporan atas hasil penyuntikan itu belum selesai. Masih menunggu pengamatan lebih lanjut.
Diperkirakan akhir Desember ini laporan dari Bandung itu baru selesai direkap. Untuk diserahkan ke BPOM –yang berwenang menilai apakah hasilnya baik atau tidak. Evaluasi itu akan dilakukan di bulan Januari. Kalau hasilnya baik BPOM akan mengeluarkan izin. Kalau hasilnya jelek, tentu izin tidak diberikan.
Asumsi kita hasilnya akan baik. Uji coba tahap tiga ''hanyalah'' lanjutan dari uji coba tahap 1 dan 2. Hanya yang disuntik lebih banyak orang. Dari bangsa yang berbeda.
Hasil uji coba tahap 1 dan 2, yang dilakukan di Tiongkok, sudah berhasil baik. Di sana juga baru selesai uji coba tahap tiga. Untuk orang Tiongkok. Baru selesai pula uji coba tahap 3 untuk bangsa Brazil.
Karena itu, vaksin Sinovac belum bisa mengatakan berapa persen efektivitasnya. Kita belum bisa mengatakan sangat efektif atau tidak efektif. Tunggu akhir bulan ini atau pertengahan bulan depan.
Mungkin saja tidak akan setinggi Pfizer yang 95 persen itu. Vaksin Pfizer memang dibuat dengan cara modifikasi gen. Sedang Sinovac dibuat dari virus asli yang dilemahkan. Maka kita menunggu hasil uji coba di Bandung itu dengan berdebar: berapa persen.
Justru Qatar, negara kecil di jazirah Arab itu, yang sudah menyelesaikan uji coba tahap 3 vaksin asal Tiongkok: Sinopharm. Tapi tidak menyebut persentase efektivitasnya.
Singapura, untuk sementara menggunakan Pfizer. Itulah yang sudah tersedia di pabrik. Baik yang dari Michigan, maupun yang dari Belgia. Singapura sudah membelinya. Sudah mentransfer uang Rp 14 triliun ke Pfizer.
Sebelum Natal ini penyuntikan pertama sudah bisa dilakukan di Singapura. Perdana Menterinya, Lee Hsien Loong, sudah mengatakan kemarin, akan menjadi orang pertama yang divaksinasi. Diikuti oleh para menterinya. "Biar rakyat percaya akan keamanannya," ujar Lee seperti secara luas dikutip media di Singapura.
Tentu dengan penduduk 5 juta orang Singapura dengan mudah bisa mengadakan vaksin dalam jumlah yang cukup. Secara gratis. Toh anak di bawah 14 tahun tidak termasuk yang perlu divaksinasi.
Apakah Singapura akan berbisnis vaksin dengan cara menyiapkan fasilitas penyuntikan di bandara Changi? Untuk orang kaya Indonesia? Seperti ''berita'' yang beredar cepat itu?
Saya tidak percaya itu akan dilakukan oleh Singapura. Beberapa teman di Singapura saya hubungi. Mereka juga tidak percaya itu. "Itu sangat tidak bermoral," kata mereka. "Singapura tidak akan melakukan itu," tambahnya.
Mengapa disebut tidak bermoral? ''Lho, fasilitas seperti itu kan hanya bisa dinikmati oleh yang punya uang," katanya. "Itu sama dengan mengatakan, bagi yang tidak punya uang silakan mati," tambahnya.
Euforia vaksin Covid sekarang ini tentu baik. Menambah kepercayaan diri. Bahwa titik terang sudah ada di depan sana. Beda dengan enam bulan lalu. Yang kita tidak tahu kapan pandemi ini akan berakhir.
Tapi euforia itu juga ada jeleknya: bisa membuat orang bersikap lengah. Padahal vaksinnya belum ada di depan mata. (*)