Tiap kilogram kedelai jenis ini bisa menjadi tempe lebih banyak. Kedelainya besar-besar. Hanya pabrik tahu yang kurang suka memakainya: sari kedelainya, yang bisa menjadi tahu, lebih sedikit.
Saya juga makan tempe dari kedelai modifikasi itu. Tapi kalau boleh memilih saya lebih senang makan tempe dari kedelai lokal. Lebih gurih. Dan yang pasti bukan hasil modifikasi gen.
Sikap saya terhadap vaksin juga seperti menghadapi sajian tempe di meja makan. Kalau ada yang asalnya dari kedelai yang bukan modifikasi saya pilih itu. Kalau adanya hanya tempe dari kedelai hasil modifikasi ya saya makan juga.
Di Barat salah satu alasan penolakan terhadap vaksinasi Covid adalah soal modifikasi gen itu. Yang anti modifikasi gen tanaman saja begitu banyak. Apalagi ini modifikasi gen manusia.
Tanpa itu pun penolakan terhadap program vaksinasi pasti ada. Tenang saja. Itu bukan menunjukkan warga kita terbelakang. Di Amerika atau Inggris atau negara maju lainnya juga banyak yang menolak vaksinasi.
Bahkan penolakan vaksinasi seperti itu sudah terjadi sejak 100 tahun lalu. Misalnya yang di kota Rio de Jaenaro, Brazil. Bahkan di sana sampai terjadi kerusuhan besar. Yang asalnya dari pro-kontra vaksinasi cacar. Hampir saja pemerintah Brasil terguling akibat kerusuhan itu.
Salah satu isu besarnya adalah: vaksinasi cacar itu membuat kecantikan kulit rusak seumur hidup. Yakni kulit yang digores untuk vaksinasi itu. Yang biasanya di lengan atas itu.
Rupanya, bagi masyarakat yang budayanya mengenakan baju you can see, cacat akibat cacar itu sangat merisaukan.
Di lengan saya pun bekas vaksinasi cacar itu masih ada sampai usia setua ini.
Tentu vaksinasi Covid tidak merusak kecantikan seperti cacar di zaman dulu. Tapi vaksin yang berasal dari virus yang dilemahkan tetap lebih menarik bagi saya. Sejarah pemakaiannya sudah begitu panjang. Untuk begitu banyak wabah di masa lalu. (*)