Isu mencuatnya reshuffle menteri di kepemimpinan Joko Widodo periode kedua ditanggapi sejumlah pengamat. Hanya saja, prediksi yang paling menguat adalah jika Jokowi tidak akan merombak kabinet secara besar-besaran.
Akademisi Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin beranggapan, jika reshuffle hanya mengganti kedua menteri yang terjerat kasus korupsi. Yakni Menteri Sosial Juliari Batubara dan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
Hanya saja, posisi tersebut bisa saja digantikan dengan menteri lain yang telah menjabat. Soal jatah kursi menteri, tetap diiisi Gerindra dan PDI Perjuangan. Direktur Eksekutif Indonesia Political Review ini melanjutkan, beredar kabar, jika Meteri Pertahanan Prabowo Subianto telah menemui Jokowi.
“Nah ini, saya yakin sudah menyerahkan nama. Karena apa, posisi awal sudah diberikan kepada Gerindra. Sehingga kecil kemungkinan jika diberikan ke partai lain,” kata Ujang kepada Fajar Indonesia Network, Jumat (11/12).
Soal teknisnya, Ujang meyakini, jika nantinya nama baru yang diusulkan oleh Prabowo akan mengisi Menteri Pertanian. Alasannya, Menteri Pertanian yang saat ini menjabat, Syahrul Yasin Limpo, sudah menjabat menteri ad interim Menteri Kelautan dan Perikanan.
Kemudian pengganti Juliari Barutabara yang tersangkut kasus korupsi bantuan sosial penanggulangan Covid-19, tetap akan digantikan dari PDI Perjuangan. Hanya saja, soal nama siapa yang akan muncul, Ujang enggan berspekulasi.
“Walaupun ini adalah hak prerogative presiden, tetapi tetap saja akan berkonsultasi dengan ketua umum partai. Megawati. Karena perlu menempatkan orang yang dinilai tepat untuk mengisi posisi tersebut,” kata Ujang.
Ia melanjutkan, soal tekanan publik yang banyak meminta pengganti menteri dari kalangan professional, agaknya sulit untuk diamini Jokowi. Alasannya, banyak permintaan masyarakat soal kebijakan Jokowi yang tidak ditanggapi.
“Contoh terakhir, adalah soal Omnibus law. Meski banyak penolakan tetapi tetap saja disahkan. Nah soal partai lain, saya yakin tetap ada lobi-lobi. Karena posisi ini sedang kosong. Tetapi, semua tetap hak prerogative presiden,” terangnya.
Terpisah, Direktur Centre for Indonesian Crisis Strategic Resolution (CICS), Muhammad Makmun Rasyid mengatakan secara pribadi belum mendengar langsung dari lingkaran istana terkait keseriusan untuk reshuffle.
Menurutnya, meskipun beberapa hari kemarin sempat ada isu puluhan menteri, tapi itu belum bisa dipastikan kebenarannya. “Tapi reshuffle harus, mau tidak mau sebagai bentuk penyegaran dalam kabinet kerja agar lebih progresif dan terukur kinerjanya,” urainya.
Ia melanjutkan, terkait dua menteri yang ditangkap KPK, memang akan ada pergantian. Tapi, lagi-lagi tidak harus perombakan total. “Ada beberapa menteri yang performanya tidak bagus, diganti atau digeser. Dimana yang pas dan cocok sesuai kompetensinya. Dan yang bagus dipertahankan,” beber Makmun melalui pesan singkatnya.
Menurutnya, setiap perombakan memungkinkan nama-nama akan mencuat. “Tetapi, dalam konteks saat ini, asumsi saya kecil adanya. Karena dua kursi menteri yang kosong pasca penangkapan masih merupakan jatah partai politik,” terangnya.
Sebelumnya, Pengamat Politik Nasional Emrus Sihombing kepada Fajar Indonesia Network meyakini hal sama. Jika perombakan pembantu presiden tidak akan terjadi secara besar-besaran. Alasannya, justru akan memulai dari awal.
“Kalau besar-besaran saya rasa tidak. Karena apa, akan memulai dari nol. Tetapi saya rasa perlu jika ada evaluasi dan kontrol dari presiden jika dua menterinya tersangkut kasus korupsi,” kata pria yang juga menjabat Direktur Eksekutif Emrus Corner.