Setelah ramai di media massa soal polemik ekspor benih lobster atau benur, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah membidik Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
Terhitung sejak Agustus 2020, Edhy yang merupakan kader kesayangan Prabowo Subianto sudah jadi incaran KPK.
“Surat perintah penyelidikan kami mulai di bulan Agustus, tentunya ini bukan waktu yang singkat kita memprofile, kemudian kita juga mengumpulkan informasi baik dari segala macam teknologi maupun perbankan. Semuanya kita olah, kita ramu sehingga kita bisa membuat sebuah potret kejadiannya,” kata Deputi Penindakan KPK, Karyoto di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu (25/11) malam.
Polisi jenderal bintang dua ini menekankan, barang bukti elektronik menjadi bukti kuat untuk menangkap Edhy usai perjalanannya dari Amerika Serikat pada Rabu (25/11). KPK lantas menetapkan tujuh orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap ekspos benih lobster.
“Ketika sesuatu hal yang berkaitan dengan barang bukti elektronik ini dimainkan, kita tahu bahwa ini nyampe pada sasaran. Sehingga apa yang kita lakukan yang dikatakan sebagai suatu yang berkelanjutan terus-menerus akhirnya pada waktunya kita bisa mengambil dan menangkap yang dikategorikan sebagai orang-orang yang menjadi tersangka di sini,” ujar Karyoto dikutip dari Jawapos.com.
Menurut Karyoto, alat bukti berupa kartu debit ATM menjadi bukti kuat adanya dugaan suap terhadap Edhy Prabowo. Edhy diduga menerima aliran suap senilai Rp10,2 miliar dan USD 100.000 dari Suharjito (SJT) yang merupakan direktur PT Dua Putra Perkasa Pratama.
“Jadi alat bukti yang kami miliki sudah cukup banyak, maupun yang sifatnya bukti fisik dan beberapa alat tadi ada satu buah yang sangat vital adalah ATM,” tandas Karyoto.
Selain Edhy, enam tersangka penerima suap di antaranya Safri (SAF) selaku stafsus menteri KKP; Andreau Pribadi Misanta (APM) selaku stafsus menteri KKP; Siswadi (SWD) selaku pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK); Ainul Faqih (AF) selaku staf istri menteri KKP; dan Amiril Mukminin selaku swasta.
Sementara, diduga sebagai pihak pemberi, KPK menetapkan Suharjito (SJT) selaku direktur PT Dua Putra Perkasa Pratama (DPPP).
Keenam tersangka penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sedangkan tersangka pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (JPC/ima)