Sehari setelah Undang-Undang Cipta Kerja diteken Presiden Jokowi, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) resmi mendaftarkan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi. Alasannya, hampir seluruh klaster ketenagakerjaan merugikan kaum buruh.
Dalam keterangan resminya, Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan, KSPI bersama buruh Indonesia secara tegas menyatakan menolak dan meminta agar undang-undang tersebut dibatalkan atau dicabut.
Kemarin (3/11), KSPI dan KSPSI AGN secara resmi akan mendaftarkan gugatan judicial review ke MK terhadap uji materiil UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Selain melakukan upaya konstitusional melalui jalur Mahkamah Konstitusi, KSPI juga akan melakukan melanjutkan aksi-aksi dan mogok kerja sesuai dengan hak konstitusional buruh yang diatur dalam undang-undang dan berasifat anti kekerasan.
“Kami juga menuntut DPR untuk menerbitkan legislatif review terhadap UU No 11 tahun 2020 dan melakukan kampanye atau sosialisasi tentang isi pasal UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang merugikan kaum buruh tanpa melakukan hoaks atau disinformasi,” tegas Said Iqbal.
Menurut kajian dan analisa yang dilakukan KSPI secara cepat, ditemukan banyak pasal yang merugikan kaum buruh. Beberapa pasal tersebut antara lain berlakunya kembali sistem upah murah.
Hal ini terlihat dengan adanya sisipan Pasal 88C Ayat (1) yang menyebutkan gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi dan Pasal 88C Ayat (2) yang menyebutkan gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.
Penggunaan frasa dapat dalam penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) sangat merugikan buruh. Karena penetapan UMK bukan kewajiban, bisa saja gubernur tidak menetapkan UMK. Hal ini akan mengakibatkan upah murah.
Dengan kata lain, berlakunya UU Cipta Kerja mengembalikan kepada rezim upah murah. Dihilangkannya UMSK dan UMSP sangat jelas sekali menyebabkan ketidakadilan.
“Bagaimana mungkin sektor industri otomotif seperti Toyota, Astra, dan lain-lain atau sektor pertambangan seperti Freeport, Nikel di Morowali dan lain-lain, nilai upah minimumnya sama dengan perusahan baju atau perusahaan kerupuk,” kata Said, Selasa (3/11).
Selanjutnya, ada juga Karyawan Kontrak Seumur Hidup. UU No 11 Tahun 2020 menghilangkan periode batas waktu kontrak yang terdapat di dalam Pasal 59 UU No 13 Tahun 2003. Akibatnya, pengusaha bisa mengontrak berulang-ulang dan terus-menerus tanpa batas periode menggunakan PKWT atau karyawan.
Dengan demikian, karyawan kontrak bisa diberlakukan seumur hidup tanpa pernah diangkat menjadi PKWTT karyawan tetap. Hal ini berarti, tidak ada job security atau kepastian bekerja.
Padahal, dalam UU No 13 Tahun 2003, PKWT atau karyawan kontrak batas waktu kontraknya dibatasi maksimal 5 tahun dan maksimal 3 periode kontrak. Tetapi UU 11 Tahun 2020 menghilangkan kesempatan dan harapan tersebut.
KSPI juga menyoroti aturan outsourcing seumur hidup. UU No 11 Tahun 2020 mengapus Pasal 64 dan 65 UU No 13 Tahun 2003. Selain itu, juga menghapus batasan lima jenis pekerjaan yang terdapat di dalam Pasal 66 yang memperbolehkan penggunaan tenaga kerja outsourcing hanya untuk cleaning service, cattering, security, driver, dan jasa penunjang perminyakan.
“Dengan tidak adanya batasan terhadap jenis pekerjaan yang boleh menggunakan tenaga outsourcing, maka semua jenis pekerjaan di dalam pekerjaan utama atau pekerjaan pokok dalam sebuah perusahaan bisa menggunakan karyawan outsourcing,” bebernya.