Jimmy sendiri sudah sebulan terakhir dalam status tahanan. Ia dituduh melakukan tindak pidana subversi –berdasar UU Keamanan Hongkong yang baru diberlakukan. Kantor Harian Apel digerebek bulan lalu. Sejumlah dokumen diamankan.
Kini Jimmy lagi menggugat polisi Hongkong. Untuk mengembalikan dokumen yang disita itu. Jimmy juga dianggap salah satu tokoh yang berada di balik gerakan pro-demokrasi di Hongkong –yang ujungnya ingin agar Hongkong merdeka dari Tiongkok.
"Fakta" bisnis Hunter Biden di Tiongkok itu didukung oleh "fakta" lain: Hunter juga berbisnis di Ukraina –memanfaatkan jabatan ayahnya.
"Fakta" itu berupa email-email rahasia yang ditemukan dari dalam laptop Hunter. Di dalam email itu terbaca bagaimana Hunter memanfaatkan jabatan ayahnya untuk ngobyek proyek di Ukraina.
Trump pun menggunakan "fakta" itu untuk menghantam Biden. Bahkan Trump akan mengerahkan aparat hukum untuk menyelidiki Biden.
Bagaimana email rahasia Hunter itu bisa bocor?
Luar biasa kerja ''intelijen'' ini. Yang menyiarkan kasus email rahasia itu adalah Rudi Giuliani, pengacara Donald Trump. Rudi mendapatkannya dari anggota pengacaranya. Anggota itu mendapatkannya dari seseorang pemilik toko servis laptop. Khusus laptop Apple.
Nama orang itu John Paul Mac Isaac. Ia-lah pemilik The Mac Shop di kota Wilmington, Delaware. Dari kota inilah Joe Biden berasal. Banyak toko The Mac Shop di Wilmington. Tapi yang bikin heboh ini yang ada di Trolley Square Shopping Center.
Suatu hari, kata John Paul, ada orang datang menyerviskan laptop. Orang itu mengaku bernama Hunter Biden. Laptopnya lagi rusak akibat ketumpahan cairan.
Lalu ditinggal di situ.
Waktu membuka laptop itulah John Paul menemukan email yang mencurigakan. Lantas, katanya, ia menghubungi anggota DPR dari Partai Republik. Tidak ada yang merespons. Ia pun menghubungi pengacara yang bekerja di kantor pengacara Rudi Giuliani –mantan wali kota New York yang terkenal itu.
Mengapa Rudi Giuliani baru membuka soal ini dekat-dekat Pemilu?
Sebenarnya berkas itu sudah disampaikan ke media besar seperti Harian Wall Street Journal dan stasiun TV Fox News. Dua-duanya sangat pro Donald Trump. Tapi keduanya tidak ada yang memuat. Bahkan Wall Street Journal sudah menyimpulkan bahwa berkas itu meragukan. Tidak mau memuatnya. Demikian juga Fox News.
Belakangan, dua minggu menjelang Pemilu, baru ada satu harian kecil di New York yang memuat kasus itu: New York Post. Milik konglomerat media Rupert Murdoch yang memang juga pro Trump.
Heboh.
Tapi, itu tadi, tidak ada yang percaya. Bahkan berkembang ke penelusuran tentang proyek intelijen yang di Hongkong tadi.