Masyarakat diminta tetap tenang. Jangan mengembangkan narasi berlebihan terkait status kehalalan vaksin COVID-19.
Sebab, dalam keadaan darurat produk tertentu dapat dipakai meski statusnya belum halal. Majelis Ulama Indonesia (MUI) berjanji akan transparan dengan status vaksin Covid-19.
"Tentang kebolehan dipakai karena terdorong kedaruratan dan dihitung. Saya kira ini panduan hukum. Insya Allah hasil fatwa vaksin COVID-19 memang sesuai dengan panduan syariat Islam," kata Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), Lukmanul Hakim di Jakarta, Jumat (30/1) kemarin.
Adapun secara hukum syariah, lanjut Lukmanul, suatu produk dalam keadaan darurat tetap boleh digunakan umat Islam, meski statusnya belum halal. "Hal itu sebagaimana keadaan mendesak saat pandemi COVID-19 yang belum kunjung ada obat atau vaksinnya," imbuhnya.
Dia mencontohkan ada Fatwa MUI yang memperbolehkan penggunaan vaksin Measles Rubella (MR) meski mengandung babi. Pembolehan itu, karena alasan darurat. Hal serupa tentu dapat berlaku untuk fatwa vaksin COVID-19 jika memang ditetapkan tidak halal.
Lukmanul Hakim menambahkan tim audit LPPOM MUI bersama delegasi Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Biofarma dan unsur terkait sudah ke China pada pertengahan Oktober lalu untuk melakukan audit vaksin COVID-19.
Menurutnya, ada tiga hal penting untuk menentukan kehalalan vaksin. Yaitu terkait sumber atau bahan dalam proses produksi, perusahaan memiliki komitmen menggunakan peralatan, fasilitas serta prosedur produksi yang terjamin kehalalannya. Ketiga, ada otentikasi yang dibuktikan dengan uji laboratorium untuk memastikan tidak ada kontaminasi kepalsuan produksi vaksin.
Dikatakan, MUI akan sangat transparan terkait hal ini. Dia juga meminta masyarakat tetap mematuhi protokol kesehatan. "Gerakan disiplin 3M (Memakai Masker, Mencuci Tangan, Menjaga Jarak), harus terus dilakukan. Ini sebagai ikhitiar kita untuk menjaga keselamatan diri dan keluarga," pungkasnya. (rh/zul/fin)