Indonesia Corruption Watch (ICW) memandang penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang supervisi tindak pidana korupsi (tipikor) dapat menjadi pengingat bagi pimpinan aparat penegak hukum lain.
Perpres tersebut dinilai dapat menjadi landasan agar Kejaksaan Agung maupun Polri bersikap kooperatif saat KPK tengah mensupervisi suatu kasus.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengingatkan agar penanganan perkara yang menyeret Jaksa Pinangki Sirna Malasari oleh Kejaksaan Agung tidak terulang kembali. Pasalnya, Kejaksaan Agung diduga tidak berkoordinasi dengan KPK saat melimpahkan perkara itu ke pengadilan.
"Praktik ini ke depannya tidak boleh lagi terjadi," ujar Kurnia dalam keterangan tertulis yang diterima, Kamis (29/10).
Kurnia turut berharap dengan dikeluarkannya perpres itu, KPK dapat berfokus mensupervisi perkara-perkara tipikor mangkrak yang penanganannya ditangani oleh Kejaksaan Agung dan Polri. Ia meminta KPK agar berinisiatif mengambil alih penanganan apabila tidak ditemukan adanya perkembangan yang signifikan.
"ICW mendorong agar KPK dapat memulai supervisi awal pada kasus Joko S Tjandra yang sedang ditangani Kejaksaan Agung maupun Kepolisian. Sebab, pada awal September lalu KPK telah resmi mengeluarkan surat perintah supervisi untuk kasus itu," kata dia.
Kurnia menyampaikan, setidaknya terdapat beberapa hal yang belum terungkap dalam penanganan perkara Djoko Tjandra oleh Kejaksaan Agung dan Polri. Misalnya seperti dugaan keterlibatan oknum jaksa maupun Mahkamah Agung (MA), serta politisi lainnya.
Tiga poin tersebut, menurut Kurnia, harus didalami oleh KPK dengan aktif menanyakan perkembangan penanganannya kepada Kejaksaan Agung dan Polri.
"Jika jawaban yang didapat sekadar normatif atau ada upaya untuk melindungi pihak tertentu, maka selayaknya KPK dapat mengambil alih seluruh penanganan yang ada pada Kejaksaan Agung ataupun Kepolisian sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) perpres supervisi," ungkapnya.
Terpisah, Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango mengatakan pelaksanaan tugas supervisi kini dapat berjalan secara optimal seiring dengan diterbitkannya perpres itu. Menurutnya, dengan adanya perpres tersebut maka tidak ada alasan lagi bagi aparat penegak hukum lainnya untuk tidak bekerja sama dengan KPK.
Ia mengungkapkan, banyak penanganan perkara tipikor oleh aparat penegak hukum lain yang belum disupervisi secara optimal oleh KPK lantaran belum memiliki payung hukum layaknya perpres tersebut.
"Karena terkendala belum adanya instrumen mekanismenya yang sebagaimana diatur dalam perpres ini," kata Nawawi.
Diketahui, Presiden Joko Widodo resmi mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 102 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Penetapan perpres tersebut untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam Pasal 2 ayat (1) menerangkan KPK berwenang melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi. Ayat (2) pasal yang sama menjelaskan instansi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia.
Kemudian Pasal 2 ayat (3) disebut dalam hal pelaksanaan supervisi membutuhkan penghitungan kerugian negara, KPK dapat mengikutsertakan instansi berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersama instansi yang terkait sesuai dengan tugas dan fungsinya.