Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menyatakan selalu berupaya menangkal penyebaran hoaks atau berita bohong dalam Pilkada 2020.
Hanya saja, penurunan hoaks di media sosial tidak bisa dilakukan sendiri oleh lembaga pengawas pemilu. Diperlukan upaya sinergis dengan lembaga dan platform media sosial terkait.
Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar mengatakan, ada peserta pemilu yang mengambil keuntungan dengan beredarnya berita bohong. Mereka intensif untuk menyebarkan berita bohong. Tetapi, ada sanksi tegas untuk menindak pelaku pembuat berita bohong.
Lebih lanjut, Fritz menjelaskan, kiat menangkal berita bohong, seperti mengadakan kerja sama dengan beberapa platform media sosial seperti Facebook dan Instagram.
“Salah satu contoh, ketika kami menemukan berita bohong di Instaram (IG), maka kami menghubungi IG, kemudian memberikan label apakah informasi itu termasuk berita bohong, atau ujaran kebencian, kemudian IG akan take down atau menghapus informasi tersebut,” tambahnya.
Dia juga berpesan supaya masyarakat berhati-hati sebelum menyebarkan atau membagikan informasi menggunakan media sosial. Sebab ketika menyebarkan informasi tanpa kita tahu kebenaran informasi itu apakah berita bohong atau bukan, maka bisa dituntut melakukan tindakan kriminal sesuai Undang-Undang yang berlaku.
Fritz mengatakan partisipasi masyarakat juga dibutuhkan untuk dapat melaporkan jika mengetahui berita bohong. Lembaga negara menyediakan tempat dan platform bagi masyarakat yang hendak melaporkan berita bohong.
“Hal yang paling penting selama menjadi supervisor untuk media sosial adalah respon pemerintah mengenai berita bohong. Pemerintah bersama lembaga negara berhak menentukan apakah informasi itu adalah berita bohong atau tidak kepada masyarakat,” jelasnya, Minggu (25/10).
Ia melanjutkan, pemerintah memberi argumentasi atau mengcounter informasi yang berkembang pada saat itu. Untuk mengcounter informasi itu, tidak ada waktu untuk menulis surat kepada Direktorat Jenderal, karena waktunya singkat.
“Proses berkembangnya berita bohong itu cepat, sehingga kami harus segera memberi argumentasi untuk meyakinkan masyarakat tentang kebenaran informasi itu,” ungkap Fritz.
Sebelumnya, sepanjang bulan Oktober 2020, Tim AIS Ditjen Aptika Kemkominfo telah menemukan 100 konten negatif terkait Pilkada 2020. Temuan tersebut sebagian besar terkait kampanye negatif.
“Dari 100 temuan yang ada, Bawaslu mengonfirmasikan 28 konten melanggar dan akan segera dilakukan pemblokiran,” terang Koordinator Pengendalian Konten Internet, Anthonius Malau.
Menindaklanjuti peningkatan jumlah hoaks, disinformasi, maupun ujaran kebencian terkait Pilkada 2020, Kementerian Kominfo berkomitmen untuk terus meningkatkan pengawasan ruang digital.
“Sebagai bentuk komitmen Kemkominfo telah menandatangani Nota Kesepakatan Aksi bersama dengan KPU selaku penyelenggara Pemilu dan Bawaslu selaku pengawas Pemilu. Nota Kesepakatan Aksi tersebut tentang pengawasan internet dalam penyelenggaraan Pilkada 2020,” lanjut Anthonius.
Selain itu, Kemkominfo, KPU, dan Bawaslu juga membuat deklarasi Internet Indonesia Lawan Hoaks dalam Pilkada 2020 yang juga didukung oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dan beberapa platform media sosial seperti Bigo, Facebook, Google, Twitter, Line, Telegram dan Tiktok.