Penggunaan kampanye di media sosial di tengah pandemi Covid-19 harus dilakukan secara seksama. Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menyatakan dalam menangani pelanggaran di medsos, perlu berdiskusi dengan berbagai pihak.
Tujuannya agar bisa dipastikan apakah masuk dalam ranah pelanggaran Pilkada atau bukan. Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar mengatakan berkaca dari pengalaman pada Pemilihan Presiden 2019 lalu, banyak konten medsos yang dibuat-buat seakan isi konten tersebut adalah milik salah satu pasangan calon (paslon).
Padahal, ketika dikonfirmasi, Fritz mengungkapkan hal tersebut adalah bentuk kampanye hitam atau hoaks semata.
"Jadi harus kita lihat percakapan yang terjadi di medsos merupakan sebuah geunine (asli) atau fabricated (buatan) jadi itu yang menurut saya yang harus dibedakan," tutur Fritz, Jumat (23/10).
Ia mengimbau semua pihak dapat lebih hati-hati dalam melihat suatu konten medsos yang berisi tindakan politik secara individual. Baginya langkah penanganan pelanggaran bisa dilakukan jika seseorang memprovokasi atau menunggangi suatu obrolan di medsos.
"Kita jangan lupa medsos menjadi hak masyarakat untuk bisa berbicara dan itu harus dilindung. Tinggal sekarang kita lihat apakah pembatasan yang berisiko itu apa karena risiko yang masyarakat berdiskusi yang kita lihat. Atau tindakan-tindakan individual yang sengaja men-'drive' percakapan itu terjadi," sebutnya.
Jika itu sengaja diciptakan (konten hoaks/kampanye hitam) hal tersebut bisa langsung ditindak Bawaslu. Karena menyetir opini yang muncul di publik.
Fritz pun menyampaikan data dari Kementerian Komunikasi dan Informasi, berdasarkan hasil laporan masyarakat yang diterima, hampir 90 persen terdapat dugaan pelanggaran soal pelanggaran protokol kesehatan (prokes). Dia menambahkan link tautan yang disampaikan bersama laporan adalah foto beberapa paslon yang melakukan kampanye dengan tidak menerapkan prokes.
"Laporan warga minta hal ini di 'take down' karena menurut mereka itu adalah kampanye negatif. Hal ini juga perlu kita siasati ke depannya dengan 'guideline' atau strategi yang jelas," kata Fritz.
Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum mencatat ada 4.130 akun yang didaftarkan ke lembaga penyelenggara pemilu sebagai media untuk berkampanye. Dari beberapa media sosial, besutan Mark Zukerberg masih paling diminati.
Komisioner KPU Ilham Saputra menerangkan, alasan para peserta pemilu memilih Facebook karena paling mudah dikases. “Dari total 100 persen, facebook menduduki posisi pertama dengan jumlah 68 persen. Ada juga instagram yang menduduki posisi kedua dengan jumlah 18 persen,” ujarnya.
Sedangkan untuk video, seperti Youtube juga sama, yakni diposisi 18 persen, twitter 3 persen, dan TikTok 0,1 persen. Laman yang ikut didaftarkan juga beragam. Fanpage facebook, website, email, blogspot, hingga grup whatsapp.
Keseluruhan, ada 6.375 akun medsos yang resmi didaftarkan ke KPU. Dengan jumlah peserta pemilu 637 pasangan calon. Peserta Pilkada wali kota dan bupati yang paling aktif menggunakan medsos ketimbang gubernur. (khf/zul/fin)