"Kata Pak Luhut, bagaimana ini pemerintah terhambat? Di situlah kita katakan buat saja omnibus law, itu 2016. Oke, saat mau digarap tiba-tiba Pak Luhut mau di-'reshuffle' ke (Menteri) kemaritiman. Macet itu," katanya.
Menurutnya, saat itu regulasi di Indonesia sangat tumpang tindih sehingga menghambat investasi, misalnya "dwelling time" kapal yang bisa sampai 7-8 hari.
"Kok lama sekali? Apa ndak bisa 2-3 hari. Sesudah ditanya di bidang itunya, ada UU lain yang beda. Sesudah diselesaikan di imigrasinya, wah ini ada lain lagi, lain lagi," katanya.
Karenanya, lanjut Mahfud, pemerintah melalui omnibus law UU Cipta Kerja sebenarnya bertujuan untuk, antara lain mengatasi tumpang tindih aturan dan membuka lapangan kerja.
Di sisi lain, Mahfud juga mengatakan proses penyerapan aspirasi dalam penyusunan omnibus law UU Cipta Kerja sudah berjalan.
"Bahwa ada orang tidak setuju, itu soal lain," katanya.
Itulah sebabnya, dibentuklah lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menangani pengaduan terhadap perundang-undangan. Bahkan, jika memang mau mencari kesalahan tentu semua UU punya sisi kelemahan sehingga dipersilakan jika mengajukan "judicial review" ke MK.
"Mana ada UU di Indonesia tidak diprotes? Yang tahun ini semua diprotes. Ya, ndak apa-apa, tetapi negara ini kan harus jalan. Bukan kalau diprotes kemudian berhenti, evaluasi," ujar mantan Ketua MK itu.
Yang jelas, kata dia, proses penyerapan aspirasi dalam penyusunan Omnibus Law UU Cipta Kerja sudah berjalan, misalnya dari Presiden KSPI Said Iqbal.
"Said Iqbal itu sudah beberapa kali ke kantor saya, menyampaikan 13 usul perbaikan, sudah ditampung. Ditampung, dalam arti mari dirembuk. Pasalnya dirembuk, mari cari jalan tengah," katanya.
Kemudian, ketika ada polemik soal klaster pendidikan dalam UU Omnibus Law sehingga akhirnya dicabut.
"Bahwa kemudian ada perbedaan isi itu ndak apa-apa, itu ada kritik-kritik bagus tadi. Meskipun kadangkala kritiknya terlambat. Artinya, begitu ada kritik, itu sudah dicabut yang dikritik," katanya. (gw/zul/fin)