Selasa (20/10) hari ini, genap setahun duet Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Maruf Amin dilantik. Banyak catatan yang mengiringi perjalanan pasangan yang mengalahkan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno itu.
Misalnya terkait pelaksanaan demokrasi dalam satu tahun pemerintahan Joko Widodo-Maruf Amin dinilai sangat buruk, bahkan dianggap sebagai pengkhianatan terhadap rakyat. Demikian evaluasi satu tahun Jokowi-Maruf yang disampaikan analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun.
"Sebagai akademisi saya mesti hati-hati membuat penilaian atau evaluasi terhadap jalannya pemerintahan. Sebab memerlukan data dan argumen yang kuat. Berdasarkan data yang saya miliki, saya menilai satu tahun pemerintahan ini makin banyak pengkhianatannya kepada rakyat. Banyak bukti untuk menunjukkan kesimpulan tersebut," ujar Ubedilah Badrun kepada Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (20/10).
Bukti bahwa Jokowi mengkhianati rakyat, kata Ubedilah, bisa dilihat dari sisi demokrasi. Satu tahun ini, demokrasi dianggap sangat buruk. "Berjanji akan mendengarkan aspirasi rakyat bahkan pernah mengatakan rindu didemo, tetapi demonstrasi rakyat menuntut keadilan justru direpresi oleh aparat," ucap Ubedilah lagi.
Apalagi, para aktivis pro demokrasi ditangkap dan dipenjara. Seperti Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana, dan lainnya yang tergabung dalam Koaliasi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI).
"Setahun yang lalu setelah terpilih jadi Presiden tindakan represif juga terjadi saat demonstrasi menolak pelemahan KPK dengan tagar #reformasidikorupsi. Bahkan penembakan terhadap mahasiswa terjadi di Kendari hingga peluru yang berasal dari uang rakyat tersebut telah membunuh mahasiswa, membunuh rakyatnya sendiri, dan Presiden diam," jelas Ubedilah.
"Menolak aspirasi rakyat banyak. Semua tokoh bangsa datang ke Istana meminta Presiden keluarkan Perpu tetapi Presiden tetap ngotot tidak mau mendengar aspirasi itu. Silakan pembaca menilai apakah ini bukan penghianatan pada rakyat banyak?" sambungnya.
Ubedilah juga menyinggung rilis indeks demokrasi di dunia yang dilakukan The Economist pada awal 2020 ini, yang menyebutkan bahwa kebebasan sipil di Indonesia mendapatkan angka 5,6 atau rapor merah.
"Saat ini mungkin indeks demokrasi kita akan makin terpuruk bisa sangat merah," katanya.
Sementara dari sisi kualitas demokrasi juga dianggap memburuk karena berkembangnya politik dinasti yang ironisnya dicontohkan oleh Presiden Jokowi sendiri. "Presiden merestui anak dan menantunya untuk menjadi calon walikota. Anak dan menantu menjadi calon walikota di saat ayahnya sedang berkuasa menjadi Presiden. Sesuatu yang tabu, tidak elok dari seorang Presiden, dipertontonkan di hadapan rakyat banyak. Silakan rakyat menilai langkah yang tidak pantas dan merusak demokrasi ini?" beber Ubedilah.
Bahkan, demokrasi semakin memburuk ketika rakyat menolak omnibus law UU Cipta Kerja yang dianggap hanya menguntungkan para oligarki ekonomi. Presiden, ungkap Ubedilah, justru makin cuek.
Padahal yang menolak datang dari organisasi terbesar seperti Nahdhatul Ulama (NU), Muhammadiyah, buruh, akademisi, aktivis lingkungan, aktivis HAM, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, kelompok oposisi KAMI, mahasiswa, dan rakyat banyak.
"(Tapi) Presiden tetap cuek dan tidak mau mengeluarkan Perppu padahal Perppu adalah opsi penting ketika situasi genting menemui jalan buntu. Lagi-lagi Presiden cuek dan meninggalkan demonstran yang ditembaki aparat. Silakan rakyat menilai apakah ini bukan penghianatan pada kepentingan rakyat banyak dan lebih mengutamakan kepentingan oligarki ekonomi?" tegasnya.
Terakhir, Ubedilah menyoroti pernyataan Jokowi yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja akan menarik investor asing. "Presiden pura-pura tidak tahu bahwa riset World Economic Forum (2019) menemukan angka tertinggi investor asing tidak mau investasi di Indonesia, itu karena tingginya praktik korupsi. Mestinya yang dikuatkan adalah KPK-nya. Ini KPK-nya dilemahkan bahkan terkesan melindungi pelaku suap korupsi Komisioner KPU. Dunia bisnis butuh kepastian pemberantasan korupsi tetapi justru diberi UU Omnibus law yang ditolak rakyat, mementingkan oligarki, merusak lingkungan, dan merugikan masa depan buruh dan generasi milenial," papar Ubedilah.
"Terlalu banyak data untuk menunjukan betapa pemerintah dalam satu tahun ini telah mengkhianati rakyat," pungkasnya. (rmol/zul)