Ahli hukum Prof. Romli Atasasmita menilai, ahli hukum yang mempersoalkan atau menolak adanya undang-undang sapu jagat atau UU Cipta Kerja hanya melihat dari satu aspek bidang hukum tertentu saja.
Karenanya, lahirnya Omnibus Law UU Cipta Kerja menuai kontroversi dari sejumlah kalangan masyarakat. Baik kalangan buruh hingga ahli hukum yang telah membedah undang-undang tersebut.
“Masalah UU Omnibus Law bagi ahli hukum yang menolak terletak dari cara melihatnya. Ahli hukum yang menolak melihat dari satu sisi saja yakni aspek keahlian yang bersangkutan saja. Misal, ahli hukum pertanahan, hukum lingkungan, hukum ketenagakerjaan,” kata Prof Romli dikutip dari Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (11/10).
“Sedangkan UU Omnibus Law, punya ciri khas yakni multi aspek sektoral dan multi aspek disiplin hukum. Sehingga dipastikan akan terjadi perbedaan kesimpulan dan saran,” imbuhnya.
Oleh karena itu, kata Prof. Romli, pendekatan multi sektoral harus diperkuat dengan multi disiplin keilmuan terutama hukum dan ekonomi.
“Dalam ragam, posisi Omnibus Law berada di pusat lingkaran yang dikelilingi oleh kementerian/lembaga, terkait dan ilmu hukum dan ekonomi,” katanya.
Profesor dari Universitas Padjajaran Bandung ini menjelaskan, pendekatan lintas sektoral dan disiplin keilmuan adalah pendekatan yang cocok bagi kondisi negara yang terdiri dari 268 juta penduduk, SDA yang kaya, yang tengah menghadapi persaingan ekonomi global.
“UU sektoral yang telah dipraktikkan pemerintah selama 75 tahun telah gagal berfungsi sebagai sarana yang efisien dan efektif untuk mengelola pembangunan di berbagai bidang utamanya bidang ekonomi,” ucapnya.
“Keadaan dalam masalah tersebut disebabkan juga faktor koordinasi dan sinkronisasi antar K/L sebagai prasarana pembangunan alias ego sektoral yang tinggi, yang mendorong suap dan KKN diperkuat oleh mafia terkait,” pungkasnya. (rmol.id/ima)