Di tengah gelombang penolakan Undang-undang Cipta Kerja, Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu Arief Poyuono rupanya lebih memilih berada di pihak yang mendukung.
Dia lantas menyinggung maskapai nasional Garuda Indonesia yang bulan Mei lalu merumahkan sekitar 800 karyawan kontrak yang diikat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) selama tiga bulan.
Selama dirumahkan mereka tidak mendapatkan kompensasi.
Menurut Arief Poyuono, keputusan Garuda Indonesia merumahkan sementara karyawan PKWT tanpa kompensasi bisa terjadi karena dalam peraturan yang lama tidak ada perlindungan memadai untuk karyawan yang diikat PKWT.
“Karyawan PKWT di Garuda itu tidak dapat kompensasi karena belum pakai UU Cipta Kerja. Sekarang bila PKWT selesai masa kerjanya atau di-PHK, perusahaan harus memberikan kompensasi,” ujar Arief Poyuono dikutip dari Kantor Berita Politik RMOL beberapa saat lalu.
Dia menjelaskan bahwa outsourcing di lingkungan BUMN adalah hal yang biasa. Setidaknya setiap tiga tahun sekali.
Ini dilakukan karena perusahaan outsorcing tidak ingin membayar pesangon dan fasilitas lain selayaknya pekerja tetap.
Arief mencontohkan seseorang yang sebut saja bernama Mamat yang bekerja di perusahaan outsourcing dengan kontrak PKWT. Dia dipekerjakan sebagai tenaga satpam di sebuah perusahaan konstruksi yang sedang membangun dua blok apartemen mewah di Jakarta.
Mamat dipekerjakan selama masa pembangunan selesai yang diperkirakan memakan waktu dua tahun. Setelah dua tahun, kontrak Mamat putus.
Beberapa bulan kemudian, perusahaan outsourcing kembali merekrutnya sebagai karyawan tetap untuk dipekerjakan di perusahaan jasa keuangan yang membutuhkan tenaga keamanan di kantor pusat. Maka, masa kerja Mamat sebagai satpam dihitung sejak ia menandatangani kontrak PKWTT tersebut.
“Dengan UU Ciptaker maka masa kerja Mamat tetap berlaku sejak berstatus PKWT yang bekerja di proyek. Jelas ini menguntungkan Mamat sebagai pekerja alih daya. Dan Mamat punya kesempatan menjadi tenaga kerja tetap nantinya,” ujar Arief Poyuono menjelaskan.
Lebih jauh Arief Poyuono menambahkan, sebelumnya masa kerja pekerja outsourching bergantung pada jenis kontrak yang disepakati bersama perusahaan alih daya yang merekrut mereka. Ini didasarkan pada Pasal 65 dan 66 jo Pasal 59 UU 13/2003.
Aturan ini sudah tidak berlaku sejak UU Ciptaker diundangkan.
“UU 13/2003 banyak merugikan pekerja outsourcing yang menjadikan buruh sebagai bentuk perbudakan. Coba tunjukan mana dari UU Ciptaker yang ngerugiin kaum buruh,” demikian kata Arief Poyuono. (rmol.id/ima)