Subsidi harga LPG 3 kg juga bermasalah mulai dari perencanaan, operasional, pengendalian, dan pengawasan. Mekanisme pengendalian melalui distribusi tertutup pun terbukti gagal.
Oleh karena itu, KPK merekomendasikan pemerintah dan PT Pertamina (Persero) untuk mengevaluasi Perpres Nomor 38 Tahun 2019 terkait perluasan penggunaan LPG bersubsidi.
Pemerintah juga diminta mengubah kebijakan dari subsidi harga komoditas ke Pertamina menjadi bantuan langsung (targeted subsidy) dalam bentuk cash transfer dengan utilisasi Basis Data Terpadu (BDT) atau sekarang dikenal dengan DTKS yang memiliki NIK sebagai target penerima subsidi energi.
"Perbaikan database turut diperlukan untuk target penerima usaha kecil menengah (UKM)," kata Ipi.
Sementara itu, Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengatakan, kajian KPK mengenai LPG bersubsidi untuk orang miskin dan UMKM di lapangan tidak tepat sasaran. LPG melon itu ternyata tidak dinikmati oleh masyarakat miskin.
"Karena kajian KPK menemukan di lapangan gas melon itu tidak secara khusus dinikmati oleh orang miskin," kata Pahala kepada wartawan.
Pahala menjelaskan, program subsidi diserahkan kepada Pertamina sebagai yang memproduksi dan Kementerian ESDM sebagai pihak yang memasarkan. Pada praktiknya, kata dia, tata niaga pemasaran elpiji 3kg di lapangan tak berjalan sebagaimana mestinya.
Menurutnya, kondisi distribusi gas 3kg untuk masyarakat miskin seperti yang direncanakan awal tidak pernah terwujud.
"Muncul pengecer (gas) melon yang keliling kampung. Ini kan enggak bisa diatur harganya. Lalu di tingkat agen-sub agen daftar pembeli (gas) melon dibikin aja namanya fiktif, sekadar memenuhi administrasi bahwa (gas) melon sudah didistribusikan secara khusus," jelasnya. (riz/gw/zul/fin)