Persoalan buruh adalah persoalan laten dan tidak pernah berhenti sejak Indonesia merdeka. Mestinya Kapolri Jenderal Idham Azis harusnya mau memahami persoalan ini.
Persoalan ini dipicu akibat tidak adanya titik temu antara buruh dan pengusaha industri. Sehingga nasib buruh terus terpinggirkan.
Oleh sebab itu, Indonesia Police Watch (IPW) berharap, dalam menyikapi konflik buruh dan pengusaha ini seharusnya Polri tetap mengedepankan asas promoternya dan menghargai hak-hak buruh yang tertuang dalam UU, seperti hak unjuk rasa maupun mogok kerja.
"Jika melihat Kapolri mengeluarkan surat telegram (TR) bernomor STR/645/X/PAM.3.2./2020 tertanggal 2 Oktober 2020, yang memerintahkan seluruh jajarannya agar melarang aksi unjuk rasa, TR ini tentu sudah sangat berlebihan, tidak independen, dan tidak promoter," kata Ketua Presidium IPW, Neta S. Pane dalam keteranganya, Selasa (6/10), seperti dikutip radartegal.com dari rmol.id.
Walaupun, Neta memahami, pelarangan itu bertujuan untuk pencegahan penularan Covid-19 serta pertimbangan keselamatan semata. Selain itu surat telegram tersebut dikeluarkan untuk menjaga kondusivitas situasi keamanan dan ketertiban masyarakat di tengah pandemi Covid-19 yang masih berlangsung.
"Hanya saja pelarangan mutlak dalam TR itu terkesan mengedepankan arogansi dan menyepelekan UU," tandas Neta.
Pasalnya, penyampaian aspirasi atau demonstrasi tidak dilarang, seperti tertuang dalam UU 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Disinilah, tekan Neta, Kapolri perlu bersikap bijak, dengan cara mengingatkan para buruh bahwa di tengah pandemi Covid-19 ini keselamatan masyarakat merupakan hukum tertinggi atau salus populi suprema lex esto, sehingga dalam melakukan aksinya para buruh perlu menahan diri.
"Jika tidak, dikhawatirkan penyebaran Covid-19 rawan munculnya klaster baru dari kegiatan yang melibatkan kerumunan massa. Sehingga hal ini patut menjadi pertimbangan para buruh," imbuh Neta.
Dia menambahkan, Polri juga harus mau memahami persoalan buruh melakukan demo dan mogok adalah untuk menolak RUU Cipta Kerja karena tercantum beleid bahwa hak cuti haid dan melahirkan bagi pekerja perempuan dihilangkan.
"Jelas aturan ini bertentangan dengan konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) yang mengatur bahwa buruh yang mengambil hak cuti maka harus dibayarkan upahnya," demikian Neta S. Pane. (rmol/zul)