Draf RUU Ciptaker Disembunyikan Dilawan dengan Mogok, Buruh: RUU Cilaka

Selasa 06-10-2020,10:20 WIB

Serikat buruh dan pengusaha berada dalam kedudukan sejajar dalam tim tripartit. Sayangnya aspirasi dari pihak buruh kerap terganjal akibat condongnya pemerintah khsusunya DPR yang lebih mengedepankan kepentingan investor dibandingkan keringat bangsanya sendiri. Wajar pula setiap tahun gelaran aksi di berbagai daerah menjad sinyal perlawanan.

Direktur Political and Public Policy Studies (P3S) Jerry Massie mengatakan, pemerintah dan DPR sebenarnya paham bagaimana merekstrukturisasi aturan yang ada saat ini. Pengusaha juga tahu sebenarnya apa yang layak dan pantas diberikan kepada buruhnya.

”Problemnya pemerintah tidak mengakuisisi harapan buruh lewat aturan. Sementara pengusaha terus berharap upah murah. Lalu sampai kapan kondisi ini terjadi. Nah baiknya DPR dan pemerintah belajar lagi dengan negara tetangga kita. Baik Vietnam, maupun Singapura,” terang Jerry kepada Fajar Indonesia Network (FIN) Senin (5/10).

Lalu apa sebenarnya tuntutan buruh yang mendasar? Menurut Jerry tetap pada kelayakan upah, asuransi jiwa, penghentian tenaga kerja sampai aturan pailit bagi perusahaan.

”Coba sih aturan yang dibuat pro buruh dan pro pengusaha. Cek saja isi RUU Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker). Kan tak jauh berbeda dengan usul revisi UU 13/2003,” ungkapnya.

Sejak tahun 2006 lalu, lanjut dia, isi regulasi itu yang juga ditolak buruh. ”Maka baca lagi, dalam revisi itu ada banyak hak buruh yang dihapus dan tak lagi berlaku. Misalnya soal Pemutusan Hubungan Kerja (PHK),” jelasnya.

Presiden punya kekuatan untuk merevisi dan menjadikan RUU Ciptaker lebih kuat. Ada banyak klausul itu dalam RUU Ciptaker yang bisa menjadi legitimasi dalam menciptakan iklim usaha, investasi dan kokohnya buruh di Indonesia.

”Tangan-tangan Presiden Jokowi banyak. Ada di kementerian sampai di DPR. Fungsikan itu, dan lihat progresnya. Tak ada yang mubazir jika mengedepankan tagline: buruh ada di hati,” papar Jerry.

Ketua Umum KASBI Nining Elitos juga membenarkan mengapa selama ini buruh menolak peraturan yang pertama kali diungkapkan Presiden Joko Widodo tahun lalu ini.

”Ya karena isinya RUU Cipta Lapangan Kerja tidak berpihak,” timpalnya.

”Anda bisa bayangkan, para karyawan tetap yang sudah puluhan tahun mengabdi tidak lepas dari ancaman. Turunnya jumlah pesangon secara drastis atau bahkan dihapus, jelas akan membuat pengusaha tidak perlu berpikir untuk memecat karyawannya. Karyawan akan bekerja tanpa posisi tawar,” timpal Nining.

RUU Cipta Lapangan Kerja membuat kontrak dan alih daya (outsourcing) diperluas baik dari segi waktu atau jenis pekerjaan, padahal dua sistem kerja tersebut meningkatkan kerentanan buruh.

Belum lagi soal diubahnya sanksi jika pengusaha menghalangi buruh cuti haid, melahirkan, tidak membayar upah minimum, upah lembur, atau menghalangi buruh berserikat dan mogok, seperti yang diatur dalam UU 13/2003.

”Kalau pun dilanggar nantinya cuma dihukum sanksi administratif. Ada juga yang berupaya mengubah upah per bulan jadi dihitung per jam. Artinya buruh bukan manusia, sekadar mesin produksi. Karyawan tetap terancam jadi karyawan jam-jaman,” jelasnya.

Sementara Ketua Sindikasi, Ellena Ekarahendy, mengatakan yang terdampak dari peraturan ini juga termasuk calon pekerja yang saat ini masih bersekolah. ”Para pekerja muda dan calon pekerja tidak akan memiliki jaminan kerja (job security), karena sewaktu-waktu dapat dipecat dengan mudah dan murah,” timpalnya.

Tags :
Kategori :

Terkait