86 Persen Guru Tak Kenal Aplikasi, Indra Charismiadji: Seakan Pemerintah seperti Makelar, Calo

Senin 05-10-2020,11:00 WIB

"Rendahnya tingkat pengenalan dan penggunaan juga berpotensi mengakibatkan rendahnya serapan jumlah kuota yang sudah dialokasikan pada kuota belajar," ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Dewan Pengawas FSGI Retno Listyarti mendorong Kemendikbud untuk melakukan evaluasi menyeluruh terkait PJJ fase kedua.

"Kami menilai Kemendikbud bersama dinas-dinas pendidikan perlu melakukan evaluasi dari PJJ fase kedua ini, mulai dari perencanaan, implementasi dan perlu mengambil sampel tidak hanya pada sekolah dan guru tapi dari orang tua dan anak, sebagai pengguna pelayanan PJJ," katanya.

Menurutnya Kemendikbud perlu melakukan sosialisasi dan diseminasi secara masif tentang panduan PJJ sebagaimana yang tertuang dalam Surat Edaran Sekjen Kemendikbud Nomor 15 Tahun 2020 tentang Pedoman Penyelenggaraan Belajar dari Rumah dalam Masa Darurat Penyebaran COVID-19. Hal itu harus dilakukan agar aturan tersebut dipahami oleh seluruh Dinas Pendidikan dan sekolah dan guru.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bidang pendidikan itu juga merekomendasikan agar Kemendikbud mendorong Dinas Pendidikan di daerah untuk menerapkan kurikulum khusus atau Kurikulum 2013 yang disederhanakan.

"Tujuannya membantu guru karena sekolah tidak berani mengambil keputusan, kepala sekolah tidak berani mau pakai kurikulum yang mana lantaran Kemendikbud memilihkan tiga, sebaiknya Kemendikbud tentukan satu saja," tegasnya.

Dikatakannya, perencanaan yang tidak jelas dapat berdampak pada pelaksanaan PJJ yang tidak mengalami perbaikan. Imbasnya, sekolah dan guru akan mengalami kebingungan yang akan berdampak juga kepada anak didik.

Sementara itu, sebelumnya pemerhati pendidikan dari Vox Populi Institute Indonesia, Indra Charismiadji mengatakan bantuan kuota internet dari Kemendikbud terkesan sebagai penggiringan peserta didik untuk berlangganan aplikasi berbayar yang bisa diakses dari kuota belajar.

Dikatakannya, dari dua jenis kuota yang diberikan yaitu kuota umum dan kuota belajar, porsi kuota belajar jauh lebih besar, namun hanya bisa digunakan untuk akses aplikasi dan website khusus yang disediakan Kemendikbud. Sayangnya, untuk bisa mendapatkan materi pembelajaran dari aplikasinya harus bayar langganan.

"Kalau lihat kuota belajar ini diberikan pada aplikasi-aplikasi berbayar, ada ruangguru, sekolah.mu, quipper, zenius, ini kan berbayar semua. Jadi ada kesan pemerintah seperti menggiring orang berlangganan aplikasi ini," ujarnya.

Dia bahkan menilai, pemerintah seakan menjadi makelar dari pemilik aplikasi-aplikasi belajar itu dan 'memaksa' peserta didik berlangganan. Sehingga bantuan kuota internet ini hanya seperti gimik belaka.

Terlebih lagi dengan porsi kuota umum yang sedikit, justru semakin menjadi tidak efektif. Ujung-ujungnya peserta didik malah membeli kuota tambahan sendiri.

"Pemerintah seperti 'nih pulsanya kita kasih tapi langganan yaa', jadi seakan pemerintah seperti makelar, calo. Ini tidak etis untuk solusi yang diberikan," tegasnya.

Pada akhirnya, kebijakan bantuan kuota menjadi tanda tanya besar. Alasannya mengapa penerima manfaat digiring berlangganan aplikasi ini, padahal ekonomi sedang susah pada masa pandemi COVID-19.

"Jadi ada tanda tanya besar kenapa digiring berlangganan aplikasi ini, kehidupan ekonomi susah kok malah digiring," pungkasnya. (gw/zul/fin)

Tags :
Kategori :

Terkait