Setelah dibrondong kritik tajam terkait mahalnya harga tes usap PCR (polymerase chain reaction), akhirnya Pemerintah menetapkan tarif maksimal PCR Covid-19 sebesar Rp900 ribu. Ternyata problem ini belum juga tuntas.
Kembali muncul sorotan terkait harga jual obat merk Covifor yang begitu tinggi. Obat ini diyakini mampu meredam mereka yang telah terpapar virus asal Wuhan, Cina.
Pemerintah memutuskan akan mendistribusikan remdesivir untuk menangani pasien Covid-19 di Indonesia. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga sudah sudah memberikan izin kepada PT Kalbe Farma Tbk yang akan menjual dengan merk Covifor itu.
Dari data yang didapat Fajar Indonesia (FIN) yang dilansir Gilead Sciences Inc, produsen remdesivir di AS. Obat tersebut dibandrol US$ 2.340 atau sekitar Rp33 juta untuk pengobatan selama lima hari.
Yang menarik, obat ini hanya didistribusikan kepada rumah sakit saja, tidak ke instansi lain termasuk apotek. Keampuhan remdesivir dalam mengobati pasien virus corona masih dipertanyakan, dan sebenarnya Remdesivir ini sudah terlebih dulu digunakan untuk pengobatan pasien Covid-19 di Amerika Serikat.
Food and Drug Administration US (FDA atau BPOM) telah mengizinkan penggunaan remdesivir pada pasien dengan gejala sedang dan berat mulai Mei lalu. Penggunaan remdesivir setelah data menunjukan bahwa penggunaan antivirus ini dapat mempersingkat waktu pemulihan pasien menjadi rata-rata 11 hari.
Nah, pada Agustus lalu, FDA menerbitkan izin penggunaan remdesivir untuk pasien rawat inap yang tidak membutuhkan bantuan oksigen. Meski FDA telah memberikan izin penggunaan remdesivir, tetapi dokter dan peneliti masih mempertanyakan efektivitas obat tersebut.
Untuk kasus di Amerika, tingkat kematian tak berkurang secara signifikan meski menggunakan remdesivir. Saat ini jumlah kematian di AS sebanyak 211 ribu orang.
Obat tersebut memiliki beberapa manfaat, tetapi tidak jelas seberapa besar manfaatnya. Setiap orang menunggu data kematian yang lebih baik. Penetapan harga obat yang besar, ternyata tidak berdampak besar.
Mahalnya obat tersebut membuat beberapa rumah sakit di AS menolak sepertiga pasokan yang dialokasikan untuk belanja obat remdesivir. Alasannya, obat ini dianggap terlalu mahal untuk digunakan pada pasien tahap sedang.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi yang juga Wakil Ketua Komite Kebijakan Pengendalian Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan meminta produsen farmasi nasional mempercepat produksi remdesivir.
”Dalam kondisi seperti ini harus diupayakan untuk segera produksi dalam negeri. Kita cari bahan-bahannya itu nanti, jadi jangan ada hambatan,” terang Luhut dalam keterangan tertulisnya, Jumat (2/10).
Bio Farma sebagai produsen farmasi nasional segera mengambil langkah yang cepat dan tepat agar bahan baku untuk produksi nasional dapat segera dilakukan. ”Ini demi kepentingan nasional,” singkatnya.
Terpisah, Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir mengaku telah telah mengurus izin untuk memproduksi remdesivir. ”Perlu diampaikan, kami akan melakukan uji klinis nanti kerja sama dengan BUMN. Kedua, di samping izin impor, kami juga sedang riset untuk produksi dalam negeri,” terangnya.
Bio Farma, menurut Honesti, juga telah melakukan uji klinis skala pilot untuk produksi remdesivir dalam negeri.