MA Kurangi Vonis Idrus Marham, ICW: Harus Jadi Evaluasi Ketua MA untuk Tentukan Komposisi Hakim

Senin 14-09-2020,10:40 WIB

Mantan Menteri Sosial Idrus Marham resmi bebas murni per 11 September lalu dari Lapas Kelas I Cipinang, Jakarta Timur. Idrus menjalani hukuman usai dinyatakan bersalah oleh majelis hakim dalam perkara suap proyek PLTU Riau-1. Eks Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Golkar itu semula divonis hukuman tiga tahun penjara di tingkat pertama.

Tidak terima atas putusan tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menangani perkara itu kemudian mengajukan banding. Upaya hukum KPK kemudian berhasil. Majelis hakim di tingkat banding mengabulkan permohonan KPK dan memperberat hukuman Idrus menjadi lima tahun penjara.

Namun, pihak Idrus juga tak mau kalah. Upaya kasasi ke Mahkamah Agung (MA) lantas diajukan. Serupa dengan KPK, upaya hukum Idrus juga membuahkan hasil. MA lantas mengurangi hukumannya menjadi hanya dua tahun penjara.

Menanggapi hal itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) mengaku kecewa terhadap putusan MA yang dijatuhkan pada Desember 2019 lalu itu. ICW mengkritik seharusnya putusan itu dapat menjadi evaluasi secara menyeluruh Ketua MA terhadap komposisi majelis hakim yang menyidangkan perkara korupsi di tingkat kasasi maupun peninjauan kembali.

"Mestinya ini menjadi evaluasi mendalam bagi Ketua Mahkamah Agung untuk lebih menaruh perhatian terhadap majelis hakim yang menyidangkan perkara korupsi, baik di tingkat kasasi atau pun peninjauan kembali," ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Minggu (13/9).

Pasalnya, kata dia, ICW memandang setidaknya terdapat tiga hal yang seharusnya tercantum dalam putusan hakim saat menyidangkan perkara korupsi.

Pertama, menjatuhkan pidana penjara yang maksimal. Kedua, memaksimalkan pemberian hukuman berupa uang pengganti. Ketiga, mencabut hak politik jika terdakwa berasal dari lingkup politik.

"Keseluruhan ini adalah paket penting untuk dapat memberikan efek jera yang maksimal kepada para koruptor," kata Kurnia.

Meski demikian, menurut Kurnia, putusan hakim memang terlihat jarang berpihak pada isu pemberantasan korupsi sejak 2005 lalu. Misalnya, tren vonis, yang dikompilasikan oleh ICW pada 2019, menunjukkan rata-rata putusan untuk para koruptor hanya dua tahun tujuh bulan.

Belum lagi, perbandingan antara kerugian negara dan uang pengganti. Berdasarkan pantauan ICW, total kerugian negara sepanjang 2019 mencapai Rp12 triliun, akan tetapi vonis uang pengganti hanya Rp748 miliar.

"Untuk itu, dengan melihat data di atas, cita-cita untuk dapat menghentikan laju korupsi sebenarnya masih sebatas angan-angan belaka," ungkap Kurnia.

Pelaksana Tugas Juru Bicara bidang Penindakan KPK Ali Fikri mengatakan, pihaknya menyerahkan sepenuhnya mekanisme penahanan Idrus pasca putusan kepada Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).

Sebab, menurut dia, tugas pokok dan fungsi KPK hanya melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf f UU KPK.

Ali menerangkan, pidana denda yang dijatuhkan kepada Idrus sebesar Rp50 juta juga telah disetorkan kepada negara pada Kamis (3/9).

"Jaksa Eksekusi KPK Andry Prihandono telah melakukan pembayaran ke kas negara berupa pembayaran denda sebesar Rp50 juta atas nama terpidana Idrus Marham sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Nomor: 3681 K/Pid.Sus/2019 tanggal 2 Desember 2019," kata dia.

Tags :
Kategori :

Terkait