Ia menerapkan Golden Way pada setiap pasien. Ia melihat dulu apakah pasiennya batuk, panas dan sesak nafas. Kalau pasiennya seperti itu ia lakukan oksitest. "Alat ini kan murah. Juga sederhana. Tinggal menjepitkannya ke ujung jari," katanya. Ia pun memperagakannya di Zoom itu. Mudah sekali.
Melihat sederhananya alat oksitest itu saya langsung telepon anak wedok saya: Isna Iskan. Agar dia segera membeli alat itu. Sekadar untuk jaga-jaga. "He he... telat. Sudah beli," katanyi. "Dua hari lagi tiba."
Terima kasih Prof.
Prof Budi tidak gampang minta pasiennya untuk melakukan swab test. Itu akan memakan waktu. Padahal pasien harus segera diobati.
Maka ia pilih melakukan oksitest. "Kalau angka di oksitest di atas 94 berarti belum tentu terkena Covid," katanya.
Pun bila angka itu di bawah 94, Prof Budi masih akan melakukan satu tahap lanjutan. Juga bukan swab test. Tapi cukup dengan foto paru-paru. Dari foto paru-paru itu –ditambah hasil oksitest dan batuk-panas-sesak– dokter sudah bisa mengambil kesimpupan: Covid-19. Lalu bisa segera ambil tindakan: memberi obat. Prof Budi lantas menunjukkan foto paru penderita Covid di layar Zoom.
Prof Budi membocorkan juga apa saja obat yang diberikan ke pasien Covid-19. Nama obatnya. Dosisnya. Berapa kali seharinya.
"Kalau harus swab test dulu pasien kehilangan golden time. Swab test itu bukan untuk menentukan jenis pengobatan. Dengan Golden Way itu tanpa swab dokter sudah bisa bertindak," katanya.
Saya setuju dengan prinsip-prinsip itu –meski saya tidak punya hak untuk bicara setuju atau tidak. Sayangnya Prof Budi tidak bisa menggunakan Golden Way untuk dirinya sendiri. Ia meninggal dunia.
Ia laki-laki (1 poin), di atas 60 tahun (1 poin), bersentuhan dengan penderita Covid tiap hari 20 orang (5 poin x 20), pernah punya asma (5 poin).
Hitung sendiri, berapa poin yang dikumpulkan Prof. Budi.
Pun, istri Prof Budi masih di ICU RS Darmo. Sampai tadi malam. Masih kritis. Tapi, kita doakan, beliau terus mampu bertahan. Dia masuk ICU hampir bersamaan dengan sang suami.
Sang istri, wanita ( nol poin), di atas 60 tahun (1 poin), pernah bersentuhan dengan penderita- suami (5 poin), memiliki sakit gula (5 poin).
Poin beliau memang sangat tinggi, tapi manusia tidak boleh hilang harapan.
Maka MA beruntung sekali tanpa simptom sama sekali. Ia bersyukur tiap hari berolahraga: pingpong. Satu jam. Di rumahnya. Lawannya pelatihnya.
MA mengaku berhenti golf sejak menjabat kapolda. Tidak ada waktu lagi. "Kalau pingpong kan bisa di rumah," katanya.