Bahkan bisnis Kompas melebar ke mana-mana: perkebunan, jalan tol dan bank –Bank Media yang kemudian dilepas.
Tapi Kompas telat masuk bisnis TV. Saya yakin itu karena idealisme yang berlebihan sebagai wartawan media cetak. Seperti juga saya.
Gak tahunya kue media terbesar adalah di TV. Pendapatan koran tidak ada seujung kuku pendapatan stasiun TV. Akhirnya bos-bos TV-lah yang menjadi raja media –bukan yang merangkak dari bawah: si wartawan.
Pada akhirnya Kompas mendirikan stasiun TV juga. Tidak sukses. Lalu dikerjasamakan dengan Chairul Tanjung menjadi Trans 7. Lalu kelihatannya menyesal: kok tidak punya TV lagi. Maka didirikan lagi Kompas TV. Yang seperti sekarang.
Mungkin juga Pak Jakob tidak menyesal bekerja sama dengan Chairul Tanjung. Stasiun TV-nya itu dari rugi bertahun-tahun menjadi laba. Dari ''menggerogoti'' keuangan Kompas menjadi ''sumber pendapatan''. Toh Kompas Gramedia masih memiliki sekitar separo saham di TV 7.
Pak Jakob juga terasa telat ekspansi ke daerah-daerah. Itu juga karena tingginya kesantunan dan rasa tepo sliro pak Jakob: kalau Kompas ekspansi ke daerah-daerah akan terasa "yang besar 'memakan' yang kecil". Koran-koran daerah akan mati semua.
Pak Jakob tentu sering mendengar aspirasi koran-koran kecil di daerah seperti itu. Beliau adalah Ketua Umum Serikat Penerbit Suratkabar (SPS). Setiap kali rapat SPS muncul keluh kesah penerbit koran kecil: kalah bersaing dengan koran besar. Yang jumlah halamannya begitu banyak dengan harga jual yang begitu murah.
Tapi, akhirnya Kompas juga ekspansi ke seluruh Indonesia –setelah si Bonek dari Surabaya berlari kencang ke mana-mana.
Pak Jakob selalu ''menjewer'' saya dengan senyumnya dan pujiannya. "Ini lho anak muda yang hebat. Ekspansi ke mana-mana tanpa beban," katanya kepada teman-teman penerbit yang lagi kumpul. Berkata begitu beliau sambil tersenyum dengan ekspresi mulut yang –dalam bahasa Jawa disebut– ''mencep''.
Pak Jakob sebenarnya tidak mau jadi ketua umum SPS. Bukan agar tidak punya beban ekspansi. Tapi Pak Jakob memang bukan orang yang ambisius di bidang politik. Bahkan sama sekali tidak berpolitik secara praktis. Tidak pula punya sedikit pun keinginan di jabatan publik.
Rasanya itu sikap yang benar. Daripada seperti yang dilakukan si Bonek yang sampai terperangkap jebakan politik.
Bahwa akhirnya Pak Jakob mau menjadi ketua umum, itu karena terpaksa. Kami semua mendaulat beliau. Kami semua merasa pak Jakob lah yang harus kami tuakan.
Sambil memaksa beliau, kami juga berdoa agar kali ini ketua umum SPS tidak meninggal dalam jabatan. Itu karena ketua-ketua umum sebelumnya selalu meninggal dunia sebelum mengakhiri masa jabatan mereka. Dan itu juga karena seseorang bisa menjadi ketua umum SPS sampai berapa pereode sekali pun. Toh tidak banyak yang mau. Apalagi orang seperti saya: yang bekerja lebih baik dari berbicara.
Setelah beberapa periode, Pak Jakob benar-benar tidak mau lagi dipilih. Beliau merayu saya untuk menggantikan. Saya juga tidak mau.
Dalam suatu kongres SPS di Jakarta pak Jakob ''menggalang'' utusan: jangan lagi memilih beliau. Harga mati. Lantas beliau ''menggalang'' suara agar memilih saya.
Saya melihat gelagat itu. Menjelang acara pemilihan ketua umum, saya diam-diam ke bandara. Pulang ke Surabaya. Agar tidak bisa dipilih –ketentuannya jelas: calon ketua umum harus ada di arena pemilihan.