Oleh: Dahlan Iskan
ROBERT Lai mengirimi saya berkas 100 halaman. Isinya: putusan pengadilan tinggi Singapura 4 September minggu lalu. Yakni tentang seorang pembantu rumah tangga asal Indonesia yang akhirnya mendapat keadilan: Parti Liyani.
Hukum di Singapura bisa memenangkan seorang pembantu di depan seorang kaya yang terkemuka.
Teman baik saya di Singapura itu begitu senang dengan putusan pengadilan tersebut. Dengan putusan banding itu, Parti bebas dari hukuman 2 tahun 2 bulan. Itulah hukuman yang dijatuhkan pengadilan tingkat distrik, semacam pengadilan negeri di Surabaya.
Saya setuju kalau di Indonesia sebutan pengadilan negeri juga diganti dengan pengadilan distrik. Agar menunjuk langsung pada tingkatan wilayah. Juga agar tidak jumbuh dengan istilah pegawai negeri. Atau SMA negeri.
Atau, kalau istilah ’’pengadilan distrik’' dianggap barang impor, sekalian saja diubah dengan sebutan baru ’’pengadilan negari’’ atau ’’pengadilan nagari’’. Terserahlah. Kita kan lagi membahas Mbak Parti. Pembantu yang umurnyi 46 tahun.
Perkara Mbak Parti sendiri kurang menarik secara problem hukum. Tapi menjadi topik besar di Singapura karena melibatkan orang besar di sana.
Juragan Mbak Parti adalah Chairman Changi Airport Group: Pak Liew Mun Leong. Umur 74 tahun.
Pak Liew juga dikenal pernah menjabat CEO Capital Land, perusahaan properti BUMN Singapura yang punya bisnis di 110 kota dan di 20 negara.
Di Jakarta kantor Capital Land mencakar langit di Jalan Sudirman. Di Surabaya ia punya mal: BG Junction. Juga punya tanah strategis yang luas di Jalan Tunjungan, di selatan Hotel Majapahit, sebelum dijual ke grup Kapal Api. Pak Liew juga pernah mendapat gelar CEO terbaik 2006 di Singapura, saat menjabat CEO di Capital Land itu.
Tapi perkara ini tidak ada hubungannya dengan Capital Land. Itu hanya untuk latar belakang pribadi Pak Liew.
Bos besar itulah yang melaporkan Mbak Parti ke polisi. Tuduhannya: selama bertahun-tahun Mbak Parti mencuri barang-barang miliknya, milik isterinya, milik anak perempuannya, dan terutama milik anak laki-lakinya: Karl Liew.
Total nilai barang itu mencapai hampir satu miliar rupiah. Belakangan nilai itu turun menjadi sekitar setengahnya. Sebab, sebagian barang bukti dikeluarkan dari perkara.
Mbak Parti memang hampir 10 tahun bekerja di rumah Pak Liew. Sejak tahun 2007 sampai dia dipecat 28 Oktober 2016. Sejak gajinya hanya 300 dolar sampai terakhir 600 dolar Singapura. Atau sekitar Rp 6 juta/bulan.
Sebenarnya, Mbak Parti sudah pulang ke Indonesia ketika laporan polisi itu dibuat. Itu berarti tanggal 30 Oktober 2016.