Oleh: Fajar Dian Aryani SH MH*)
Grafik pandemi di Indonesia tidak menunjukan angka penurunan, jumlah kasus di berbagai daerah semakin meningkat, bahkan setelah diterapkannya New Normal, sebagai upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, penerapan kebijakan New Normal, yang merupakan kebijakan top-down dimana satu pendekatan untuk semua sehingga banyak berpotensi kegagalan, karena cenderung melupakan realita bahwa ada kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang beragam semasa pandemi. “Everything that people have, think, and do as members of a society” (Ferraro, 2008), yang maknanya bahwa apa yang seseorang miliki, pikirkan merupakan tindakan sebagai anggota masyarakat, pertanyaan yang muncul untuk siapa kebijakan New Normal Efektif diberlakukan. Dan hasil akhirnya akankan New Normal sebagai Ideal Culture atau sebagai Real Culture. Apabila kita berbicara mengenai New Normal sebagai suatu konsepsi yang modern, maka kita akan menempatkan penggunaan New Normal secara sadar untuk mencpai suatu tertib atau keadaan masyarakat sebagaimana dicta-citakan untuk melakukan perubahan-perubahan yang diinginkan, kemampuan seperti inilah yang dapat dikatakann bahwa New Normal is a way of live.
Transformasi KE NEW NORMAL
Saat ini bangsa-bangsa manapun di dunia ini tengah menemukan dirinya berada di masa transformatif menuju ke model kehidupan baru, perubahan paradigma sebagai akibat pandemi Covid19, yang sebelum adanya Pandemi ini masyarakat bebas melakukan aktivitas di berbagai sektor kehidupan maka setelah terjadinya Pandemi maka masyarakat dipaksa untuk mengikuti tatanan kehidupan baru dengan indikator : perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal namun dengan ditambah menerapkan protokol kesehatan guna mencegah terjadinya penularan Covid-19, mengurangi kontak fisik dengan orang lain, dan menghindari kerumunan, bekerja, serta bersekolah dari rumah, sebagai bagian yang tidak menambah penularan atau memperluas penularan atau semaksimalnya mengurangi penularan dalam dunia medis Seberapa tinggi adaptasi dan kapasitas dari sistem kesehatan bisa merespons untuk pelayanan COVID-19, hal ini sejalan dengan kepentingan sentral manusia adalah keamanan dari tindakan-tindakan orang lain yang mengakibatkan kematian, kehancuran kesehatan, atau ketidakmampuan bekerja, transformasi ini dapat mengambil dua pendekatan, Pertama, Memusatkan diri pada perubahan sikap moral, dan perilaku orang melalui persuasi, penyadaran, serta pendidikan, Kedua, memusatkan diri pada implementasi Hukum, dalam hal ini membiarkan hukum menuntun opini publik. Transformasi ke New Normal membawa perubahan sosial, yang dapat menciptakan ketidakstabilan di berbagai sektor kehidupan, karenanya perlu pemahaman tentang peran hukum sebagai kontrol sosial di masa transformasi ke New Normal. Menurut Parson fungsi utama suatu sistem hukum bersifat integratif, artinya mengurangi unsur-unsur konflik yang potensial dalam masyarakat dan untuk melicinkan proses pergaulan sosial, dengan mentaati sistem hukum maka sistem interaksi sosial akan berfungsi dengan baik, tanpa kemugkinan berubah menjadi konflik terbuka atau terselubung yang kronis, agar transformasi ke New Normal dapat tercipta maka sejalan dengan pendapat Parson, terdapat 4 masalah yang harus diselesaikan terlebih dahulu, yaitu :
- Legitimasi, yang akan menjadi landasan bagi penataan aturan-aturan;
- Interpretasi, yang akan menyangkut masalah penetapan hak dan kewajiban subyek, melalui proses penetapan aturan tertentu;
- Sanksi, yang menegaskan sanksi apakah yang akan timbul apabila penataan, dan sanksi apa yang akan timbul apabila ada pengikatan terhadap aturan, serta menegaskan siapakah yang akan menerapkan sanksi;
- Yurisdiksi, yang menetapkan garis-garis kewenangan yang berkuasa menegakkan norma-norma hukum
Untuk tercapai Transformasi harus memperhatikan New Normal Integreated, yaitu Kesiapan kelembagaan, Kapasitas SDM serta Instrumen dan Kebijakan Pendukung. Beberapa penelitian menjelaskan, suatu kebiasaan yang terus menerus dilakukan akan menjadi kebiasaan baru. Untuk hal ini, hampir semua peneliti sosial duduk dalam pendapat yang sama. Perbedaannya terletak berapa lama kebiasaan baru itu terbentuk. Beberapa ahli yang menetapkan berapa lama kebiasaan baru tercipta antara lain, Dr. Maxwell Maltz yang dari buku Psychocybernetics menetapkan 21 hari untuk membentuk kebiasaan baru (Maltz, 2015). Namun, Phillippa Lally dari University College London mengatakan penelitiannya menetapkan rata-rata 66 hari untuk merubah pembiasaan menjadi kebiasaan sebagaimana publikasi penelitiannya dalam European Journal of Social Psychology (researchgate.net).
Hukum sebagai Kontrol Sosial di New Normal
Hukum sebagai sarana Kontrol sosial (Satjipto Raharjo; 2009;111) yaitu suatu proses mempengaruhi orang-orang untuk bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat. Pengontrolan oleh hukum dijalankan dengan berbagai cara dan melalui pembentukan badan-badan yang dibutuhkan, dalam hal ini biasa disebut sebagai sarana kontrol sosial yang bersifat formal, dalam New Normal dengan adanya Peraturan Wali Kota (Perwal) No. 13 Tahun 2020 Tentang Pencegahan Penularan Covid-19, merupakan bentuk kontrol sosial dalam penerapan New Normal, namun ternyata hal ini belum maksimal sebagai upaya untuk menciptakan tatanan New Normal, harus ada sinkronisasi baik dari aspek Substansi, struktur maupun cultur yang ada di Kota Tegal.
Merujuk (Hart, 1912:89-97), dikatakan penyelenggaraan hukum dalam suatu masyarakat bisa berbeda-beda, didasarkan pada model struktur masyarakat, Yang Pertama mempunyai susunan yang sederhana dengan sistem kontrol sosial yang tidak mempunyai bentuk-bentuk yang jelas, melainkan sekedar berupa sikap umum yang terdapat pada para anggota masyarakat untuk mengikatkan diri pada pola-pola tingkah laku standar. Pada model struktur masyarakat Yang Kedua disesuaikan dengan tingkat kompleksitas masyarakatnya ditandai dengan bentuk-bentuk penyelenggaraan hukum yang jelas dan terperinci.
Evektifitas Hukum sebagai sarana kontrol sosial dimasa New Normal, harus dibarengi dengan mencurahkan perhatian secara lebih seksama terhadap obyek-obyek yang menjadi sasaran peraturan tersebut, sehingga menimbulkan perubahan-perubahan pada obyek yang diaturnya, terutama perubahan dalam tingkah laku, maka diperlukan penguasaan pengetahuan yang lebih seksama mengenai obyek yang diatur, mengenai reaksi-reaksi yang ditimbulkan, selanjutnya mengenai kemampuan dari lembaga-lembaga serta personel yang menjalankan aturan tersebut, serta sanksi sebagai wujud shock terapi atas taatnya terhadap peraturan tersebut.
Sehingga New Normal dapat diartikan suatu kondisi dan/atau kebiasaan sosial masyarakat atau perilaku individu yang muncul setelah covid-19 selesai. Seperti New Normal, maka Normal Lama adalah kondisi sosial masyarakat sebelum pandemi covid-19. Semoga normal baru ini tidak membuat masyarakat sosial menjadi kelompok baru yang kehilangan sosialnya yang lama. (*)
*) Dosen Fakultas Hukum UPS Tegal