Oleh: Dahlan Iskan
SEJAK Covid-19 baru sekali ini saya bertemu Bu Risma –Tri Rismaharini, wali kota Surabaya.
Sore itu, Selasa lalu, saya baru tiba dari Jakarta. Lewat jalan tol. Saya hanya sempat mampir rumah untuk makan gulai pipi kambing masakan istri. Itu saya anggap makan malam. Sudah jam 5 sore.
Saya masih punya empat acara setelah itu.
Saya pun langsung berangkat lagi ke Adi Jasa. Yakni tempat persemayaman mayat-mayat sebelum dikuburkan atau dikremasi. Khususnya bagi masyarakat Tionghoa.
Ada dua pengusaha besar yang meninggal hampir bersamaan. Yang satu bernama Henry J. Gunawan. Ia meninggal di tahanan. Akibat serangan jantung. Umurnya dua tahun lebih muda dari saya.
Pengusaha itu lagi bertengkar hebat dengan pengusaha lainnya. Yang juga teman-teman saya.
Saya memilih untuk tidak memihak. Henry itu sampai diperkarakan di enam perkara. Yang empat sudah dijatuhi hukuman tapi masih naik banding.
Henry adalah raja tanah. Ia lagi bertengkar dengan raja-raja tanah lainnya.
Ia juga pernah menggugat Pemkot Surabaya. Ia mempersoalkan kepemilikan kebun bibit seluas 2 hektare di dalam kota Surabaya.
Henry menang dalam gugatan itu. Tapi saya merayunya: Anda memang menang, tapi baiknya tanah kebun bibit itu Anda serahkan ke negara, ke Pemkot. Kalau tidak, Anda akan dimusuhi rakyat Surabaya.
Masyarakat sudah menganggap kebun bibit adalah fasilitas umum kota.
Henry mendengarkan pendapat saya. Ia diam sebentar. Menunduk. Lalu menyalami saya. "Saya akan serahkan tanah itu ke Pemda," katanya.
Maka kebun bibit itu menjadi tidak masalah lagi. Di masa wali kota Risma, kebun bibit itu menjadi paru-paru kota yang rimbun.
Kejadian itu jauh sebelum saya sakit. Berarti juga jauh sebelum saya pindah ke Jakarta –untuk menjadi sesuatu itu.