Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengungkapkan, sebagai pelapor kasus Djoko Tjandra, pihaknya mengapresiasi Bareskrim Polri yang telah melakukan penyelidikan dan penyidikan dengan cepat.
”Semuanya dilakukan dengan terbuka,” kata Boyamin Saiman, Kamis (27/8) dikutip dari Pojoksatu.
Dia lantas membandingkan dengan penanganan kasus Djoko Tjandra di Kejaksaan Agung (Kejagung).
”Seharusnya Kejagung bisa mengimbangi kecepatan dan keterbukaan Polri,” tuturnya.
Untuk kasus di Polri, hampir semua saksi yang diajukan MAKI telah diperiksa dan malah menjadi tersangka.
“Sayangnya, di Kejagung hingga saat ini juga belum ada penetapan tersangka pemberi suap,” ucapnya.
Lalu, penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) di Bareskrim lebih lengkap. Sejak awal, Bareskrim menerapkan pasal 11, 12, dan 15. Di pasal itu, hukuman penjara bisa sampai 20 tahun.
”Berbeda dengan di Kejagung yang penerapan pasalnya di awal hanya pasal 5 dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun. Penerapan pasal 11 dan 12 juga baru saja dilakukan setelah didesak,” jelasnya.
Bareskrim juga terbuka dengan mengundang KPK untuk melakukan gelar perkara. Boyamin menyebut, Kejagung sama sekali belum mengundang KPK untuk melakukan supervisi semacam itu.
”Itulah perbedaannya,” terangnya.
Dia menjelaskan, saat ini ada saksi berinisial PG yang belum diperiksa Kejagung. Padahal, PG diduga merupakan salah satu saksi yang mampu mengungkap janji Djoko Tjandra kepada Jaksa Pinangki.
Ia mengatakan, Pinangki menerima USD 500.000 atau setara dengan Rp7,3 miliar.
Selain itu, kata dia, Djoko Tjandra juga menjanjikan USD 10 juta atau setara dengan Rp140 miliar kepada Pinangki.
”Selain menerima USD 500.000, juga ada janji untuk mendapat hadiah senilai USD 10 juta (Rp 146 miliar),” ujarnya.
Janji tersebut dalam bentuk jual beli tambang untuk power plan.
”Walau hanya janji, itu semua sudah masuk dalam pasal korupsi,” terang mantan kuasa hukum Antasari Azhar tersebut.