Protokol kesehatan wajib diterapkan secara ketat selama pandemi COVID-19. Status zona hijau bukan berarti daerah itu aman dari Corona. Sebab, zona penyebaran virus memiliki risiko bervariasi.
"Daerah yang dinyatakan zona hijau belum tentu memiliki risiko nol Corona. Meskipun salah satu warnanya adalah hijau, bukan berarti nol. Konteksnya ini pandemi di seluruh dunia. Zona-zona yang ada, termasuk yang hijau memiliki risiko yang bervariasi. Antara merah, oranye, kuning, dan hijau," tegas Juru bicara Satgas Penanganan COVID-19, Wiku Adisasmito di Jakarta, Selasa (25/8).
Dia memaparkan ada 22 kabupaten/kota dengan risiko tinggi. Ada pula 223 kabupaten/kota dengan risiko sedang. Sementara 195 daerah dengan risiko rendah. Terdapat juga 44 daerah yang tidak ada kasus baru serta 30 wilayah yang tidak terdampak COVID-19.
"Pada saat mulai start pencatatan di bulan Mei, jumlah kabupaten/kota yang tidak terdampak jumlahnya cukup banyak. Yakni 102. Sekarang tinggal 30. Ini harus dijaga betul. Karena bentuk negara kita kepulauan. Harapannya daerah-daerah yang tidak terdampak, tetap bisa dijaga," imbuhnya.
Wiku menjelaskan penentuan zonasi didasarkan pada rekomendasi WHO (World Health Organization). "Indonesia membuat zonasi dengan indikator-indikator berdasarkan rekomendasi WHO. Terutama terkait indikator epidemiologi, surveilans kesehatan masyarakat, serta pelayanan kesehatan," ucapnya.
"Semua yang kami sampaikan berdasarkan data yang ada di seluruh wilayah Indonesia, datanya tidak tertukar antara daerah satu dengan daerah yang lainnya. Kita harus percaya pada kemampuan yang ada di seluruh Indonesia dan itulah yang ada. Dan apabila ada yang tidak sesuai, kami tingkatkan kualitasnya secara transparan. Silakan publik mengakses data yang ada dan mempelajarinya agar betul-betul monitoring ini berjalan efektif oleh seluruh pihak Indonesia," imbuhnya.
Hingga kemarin, ada penambahan sebanyak 2.447 kasus positif. Selain itu, kasus sembuh di Indonesia juga mengalami peningkatan. Total kasus sembuh Corona adalah 112.867 orang. Menurutnya, angka kesembuhan itu akan terus diupayakan oleh pemerintah.
Terpisah, Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo mengatakan pemerintah memerlukan adaptasi untuk mempercepat penyerapan dana program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Hingga saat ini, penyerapan baru mencapai 25 persen dari alokasi Rp695,2 triliun.
"Kenapa penyerapan PEN ini agak lambat? Ini adalah masa extraordinary. Saya mencoba letakkan kaki di sepatu orang lain, mengukur menurut ukuran yang mereka kerjakan," kata Yustinus dalam webinar terkait ancaman resesi ekonomi di Jakarta, Selasa (25/8).
Pengamat perpajakan itu menuturkan pemerintah harus mengubah dua kali APBN dalam setahun karena pandemi COVID-19 melalui Perpres 54 dan Perpres 72 Tahun 2020 yang keluar susul menyusul dalam periode yang pendek.
"Artinya, pemerintah juga belajar menyesuaikan dan mencoba cepat. Tetapi prosedur tidak bisa serta merta mengikuti kecepatan itu. Karena, ini kan pola yang sudah puluhan tahun. Bukan tidak mungkin, tapi perlu adaptasi," terangnya.
Menurutnya, dengan alokasi penanganan COVID-19 dan biaya PEN mencapai Rp695,20 triliun merupakan momentum dan berkah. Karena dialokasikan dengan porsi yang besar bagi masyarakat.
"Tinggal bagaimana kita merawat modal sosial ini lalu ditransformasikan pascapandemi. Dengan new normal ini, tidak hanya sekadar cara hidup baru. Tetapi juga cara mengelola negara," ucapnya.
Apalagi, pemerintah menerima beberapa usulan baru pemanfaatan biaya penanganan COVID untuk kesehatan mencapai Rp23,3 triliun. Termasuk di antaranya pengadaan vaksin COVID-19.
Kemudian, ada usulan pemanfaatan program perlindungan sosial sebesar Rp18,7 triliun memanfaatkan dana cadangan pangan/logistik. Selanjutnya, ada juga usulan pemanfaatan program sektoral kementerian/lembaga dan pemda Rp81,1 triliun dan pemanfaatan program insentif usaha Rp3,1 triliun.