Tani Komunal

Jumat 14-08-2020,10:20 WIB

Dengan pimpinan program: bupati.

Kita semua tahu, pertanian kita tidak efisien. Salah satu penyebabnya jelas: lahan pertanian kita dimiliki perorangan (petani) dengan luasan rata-rata 0,3 hektare.

Tiap petani mengerjakan lahan masing-masing. Di petak-petak sawah yang kecil. Tidak terkoordinasi: jenis yang ditanam, pupuknya, pembasmi hamanya dan pengerjaannya.

Teknologi yang dipakai juga sangat tradisional. Modernisasi sangat sulit dilakukan. Mekanisasi menjadi mustahil. Praktiknya para petani itu menyewa traktor untuk menggarap sawah. Tapi biaya demob traktor itu menjadi sangat mahal.

Alangkah hebatnya kalau petani dalam satu hamparan itu bersatu. Tidak usah mengerjakan sendiri-sendiri. Sebaiknya setiap komunal itu luas hamparannya minimal 300 hektare. Kalau bisa lebih luas dari itu.

Tentu, sekarang ini, satu hamparan seluas 300 hektare itu dimiliki sekitar 500 petani. Maka 500-an petani itulah yang harus bersatu dalam satu kelompok tani.

Kelompok tani itu menyusun pengurus. Pengurus itu bertindak sebagai semacam dewan komisaris. 'Dewan komisaris' itu lantas mencari 'direktur utama' yang akan diserahi menggarap lahan komunal. Dengan target-target yang ditentukan.

Salah satu terobosan yang harus dilakukan adalah membuang galengan pembatas sawah. Dengan demikian lahan seluas 300 hektare itu tanpa galengan sama sekali.

Tentu membuang galengan ini sangat sensitif. Lebih sensitif dari Rocky Gerung. Tapi itulah yang disebut terobosan. Harus ada perubahan besar.

Galengan itu kita ubah secara mendasar: menjadi titik-titik kordinat. Galengannya disimpan di komputer atau di HP. Tidak lagi di atas sawah. Juga disimpan di komputernya kantor agraria.

Dalam perjalanannya, kalau ada petani yang ingin menjual sawah, mereka hanya menjual titik kordinat.

Dengan hilangnya galengan di hamparan 300 hektare itu maka pengerjaan sawahnya bisa full mekanisasi. Mulai dari pengolahan lahan, penanaman sampai panennya.

Tugas pemerintah pusat hanya menjadi penggerak. Dengan cara mengadakan semacam lomba antar bupati: siapa yang mau ikut program ini.

Artinya, pemerintah pusat mencari siapa bupati yang tertarik menyukseskan program ini. Tanpa lewat instruksi dari atas –yang biasanya kurang sukses.

Yang dicari adalah satu bupati yang punya sikap optimistis bisa meyakinkan petani di satu hamparan. Untuk bisa berubah menjadi petani komunal.

'Lomba' ini untuk tahun pertama sebaiknya hanya dilakukan di lima provinsi penghasil padi: Jabar, Jateng, Jatim, Bali, dan Sulsel. Di satu provinsi cukup ada satu kabupaten yang menjadi pemenang.

Tags :
Kategori :

Terkait