Pepatah mulutmu harimaumu nampaknya kini kurang tepat diterapkan di zaman serba media sosial sekarang. Mungkin kalimat itu lebih tepat diganti jarimu harimaumu.
Akibat unggahannya di Instagram yang membahas soal Covid-19, musisi Jerinx yang juga drummer band Superman Is Dead (SID) resmi dilaporkan ke polisi.
Pemilik nama lengkap I Gede Ari Astina ini dilaporkan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) ke Polda Bali, karena dianggap telah melakukan pencemaran nama baik lewat ujaran kebencian di media sosial.
Laporan ini tepatnya, saat Jerinx menyebut IDI adalah kacung Lembaga Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO). Itu diposting di akun media sosial Instagram pribadi @jrxsid.
Hal ini dijelaskan oleh Kabid Humas Polda Bali Kombes Pol Syamsi, Selasa (4/8) dikutip dari Pojoksatu. Dijelaskan Syamsi, dalam postingan itu, JRX menyebut IDI dan Rumah Sakit sebagai kacung WHO.
“Itu melalui medsos Instagramnya,” kata Syamsi.
Musisi yang juga aktivis lingkungan tersebut menulis Gara-gara bangga jadi kacung WHO, IDI dan Rumah sakit dengan seenaknya mewajibkan semua orang yang akan melahirkan tes Covid-19.
Merasa dirugikan atas postingan itu, pihak IDI langsung melayangkan laporan ke Dit Reskrimsus Polda Bali, pada 16 Juni 2020 lalu.
“Jadi ada kalimat itu, gara-gara kalimat IDI dan rumah sakit jadi kacung WHO,” terang Syamsi.
Terkait laporan itu, Polda Bali telah meminta keterangan para pihak pelapor. Sementara untuk JRX sendiri dijadwalkan akan diperiksa di Mapolda Bali, Kamis (6/8).
Dia diduga melanggar Pasal 28 Ayat (2) juncto Pasal 45A ayat (2) dan/atau Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (3) UU Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Jerinx memang dengan tegas menyebut Covid-19 ini bagian dari teori konspirasi. Dia juga bersama ratusan massa sempat menolah rapid test dan swab test sebagai syarat administrasi.
Dia juga menyuarakan dan mengkritik keras bahwa ibu-ibu hamil yang ingin melahirkan harus menjalani rapid test. Dia mengungkapkan banyak kasus yang naik di media massa, beberapa ibu-ibu harus kehilangan bayinya lantaran prosedur rapid tersebut.
“Lagi, lagi & lagi, ibu-ibu ini tetap dipaksa rapid hingga bayi-bayinya meninggal. Baca surat edaran Persatuan Rumah Sakit Indonesia (slide akhir). Poin 3 & 4 yg MELARANG rapid dijadikan syarat pelayanan kesehatan. Tapi faktanya? Saya harus marah ke siapa? WHO? Emang mereka mau denger suara saya? Siapa yg bisa ganti nyawa bayi-bayi ini? Ke siapa saya harus mengumpat?,” tulisnya. (nin/pojoksatu/ima)