Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) memperkirakan, dapat menghimpun dan mengelola dana sebesar Rp60 triliun hingga 2024.
Komisioner BP Tapera, Adi Setianto Dana mengatakan, bahwa asumsi perolehan dan tersebut berasal dari akumulasi iuran 13,1 juta peserta yang tercatat hingga 2024.
"Dana yang terhimpun dari peserta Tapera hingga akhir 2024 diproyeksikan sebesar Rp60 triliun," kata Adi di Jakarta, Sabtu (11/7) kemarin.
Menurut perhitungan Adi, jumlah peserta Tapera tahun ini diperkirakan dapat mencapai 4,2 juta yang berasal dari peserta eks Tabungan Perumahan (Taperum) yang anggotanya terdiri atas pegawai negeri sipil.
Pada tahun berikutnya (2021) jumlah peserta akan naik menjadi 5,35 juta. Kemudian pada tahun 2022 sebanyak 7,4 juta peserta, lalu 10,3 juta peserta pada 2023, dan 13,1 juta peserta pada akhir 2024.
"Jumlah peserta yang diperhitungkan ini berasal dari kelompok pekerja PNS, TNI, Polri, pegawai BUMN, BUMD, dan BUMDes," ujarnya.
Namun, Berdasarkan arahan Komite Tapera agar dua tahun pertama fokus pada layanan kepada ASN yang sebelumnya sudah ikut program Taperum PNS. Menurut Adi, dari program tersebut, setidaknya ada 1 juta ASN yang belum memiliki rumah
"Kita akan fokus kepada kelompok ASN, karena pesertanya sudah 4,2 juta peserta eks Bapertarum dengan dana Rp11 triliun," terangnya.
Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch, Ali Tranghanda mengingatkan, bahwa dana yang dihimpun Tapera bersumber dari masyarakat harus dikelola dengan hati-hati. Pemilihan mitra dalam program pengelolaan dana harus dilakukan dengan benar sehingga peserta merasa aman.
"Program Tapera ini bagus, sebab tidak seperti program sosial lainnya yang habis terpakai, Tapera ini memberikan pengembalian uang pada akhir kepesertaannya. Untuk itu, perlu dijaga pengelolaannya agar pada saat kewajiban peserta jatuh tempo, dana tersedia," kata Ali.
Menurut Ali, permasalahan pemanfaatan dana Tapera di luar kelompok Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) memang perlu mendapat perhatian dari BP Tapera terkait dengan iuran yang mereka bayarkan.
"Dengan membayar iuran, peserta berharap mereka bisa merasakan manfaatnya. Sebab banyak juga kalangan non-MBR yang belum memiliki rumah. Ini tentu perlu mendapat perhatian," ujarnya.
Kebutuhan rumah terus meningkat setiap tahunnya. Bahkan pada periode 2015-2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat backlog perumahan mencapai 11,5 juta. Sedangkan melalui program Sejuta Rumah, pembangunan baru hanya 3,76 juta unit rumah.
Permasalah ini disinyalir karena keterbatasan anggaran pemerintah dalam membiaya program Sejuta Rumah tersebut. Sebab, kemampuan pembiayaan perumahan pemerintah dalam lima tahun yakni periode 2020 hingga 2024 diperkirakan mencapai Rp557,2 triliun untuk lima juta unit rumah.
Berdasarkan anggaran yang bersumber dari Ditjen Penyediaan Perumahan PUPR, hanya sebesar Rp54 triliun atau mampu menyediakan 875 ribu unit rumah. Sementara Ditjen Pembiayaan Infrastruktur PUPR sekitar Rp84,7 triliun mampu menyediakan sekitar 1,7 unit rumah.