Mengejutkan, sebanyak 92 kabupatan/kota tidak pernah memperbarui data jumlah masyarakat miskin di wilayahnya. Alhasil, jumlah orang miskin di wilayah tersebut paling banyak dibandingkan dengan kawasan lainnya.
Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara mengatakan, bahwa 319 kabupaten/kota lainnya memperbarui data jumlah orang miskin di wilayahnya, namun tidak sampai 50 persen. Maka, mayoritas data kemiskinan wilayah tersebut masih data lama.
"Misalnya, ada kabupaten/kota di data ada 1.000, tapi yang update hanya 4.000," ujar Juliari, Rabu (1/7) kemarin.
Dengan begitu, lanjut dia, bila diklasifikasikan tingkat kemiskinan paling parah ada di 92 kabupaten/kota. Sementara, setengah parah ada di 319 kabupaten/kota, dan yang lumayan ada di 103 kabupaten/kota. "Ini kondisi yang sedang kita hadapi," ucapnya.
Kesempatan yang sama, menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional sekaligus Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan, ketika menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) kepala daerah akan mengubah data jumlah orang miskin menjadi lebih tinggi dari sebelumnya.
"Nanti kalau mau pilkada garis kemiskinan naik, sehingga bantuan sosial (bansos) banyak," ujarnya.
Setelah kepala daerah itu terpilih kembali, mereka akan berusaha menurunkan tingkat kemiskinan. Hal itu agar dianggap sebagai prestasi bisa menekan angka kemiskinan di wilayahnya.
"Ketika terpilih mereka berusaha menurunkan jumlah orang miskin secara drastis. Langkah ini dianggap sebagai prestasi," tuturnya.
Nah, menurutnya, kondisi ini menjadi kendala pemerintah dalam mengumpulkan data kemiskinan. Padahal, pemerintah pusat sangat membutuhkan data yang terbaru untuk menekan tingkat kemiskinan di Indonesia.
''Daerah memang harus memberikan kontribusi dalam hal data. Sebab daerah punya otonomi daerah, sementara Kementerian Sosial tidak bisa masuk," katanya.
Sementara itu Direktur Smeru Research Institute Widjajanti Isdijoso menilai data yang tidak ter-update dapat menghambat penyaluran bansos di tengah pandemi Coviid-19 ini. Kata dia, Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTSK) yang saat ini digunakan, tidak diperbarui sejak 2015.
"Kita tahu bahwa data itu di-update secara memadai di tahun 2015, kemudian tidak ada updating secara besar-besaran," katanya.
Tentu saja, lima tahun tidak diperbaharui membuat keakuratan data bakal turun. Sementara objek data yang dihimpun yakni kemiskinan, perkembangannya fluktuatif.
"Kalau dibuat 2015, kita hitung keakuratannya sekitar 85 persen. Karena kemiskinan itu fluktuatif. Tentunya kalau ini tidak di-update secara memadai tentu keakuratannya akan turun," pungkasnya. (din/zul/fin)