Keputusan pemerintah membatalkan pemberangkatan jamaah haji Indonesia tahun 2020, masih jadi gunjingan publik. Ada yang menuduh, pembatalan terkait upaya penguatan nilai tukar rupiah.
Sementara itu, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) diketahui melakukan investasi syariah. "Tidak benar jika ada tuduhan pembatalan keberangkatan jamaah haji karena ada motif-motif lain. Ada yang bilang akan menggunakan uang jamaah untuk memperkuat nilai tukar rupiah. Semua itu tidak benar. Tuduhan itu tidak berdasar," tegas Wakil Menteri Agama (Wamenag) Zainut Tauhid Saadi di Jakarta, Jumat (5/6) kemarin.
Menurut Wamenag, tidak ada kaitan antara pembatalan haji dan nilai tukar rupiah. Zaenut juga menegaskan menghormati kritik, sepanjang kritik tersebut dilandasi niat yang baik, obyektif, dan argumentatif. "Bukan kritik subyektif, asumtif dan hanya mencari sensasi semata."
Sementara itu, Kepala Badan Pelaksana Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Anggito Abimanyu juga menegaskan dana haji yang terkumpul bertujuan untuk keperluan jamaah. Menurutnya, 80 persen portofolio dana haji di BPKH berupa valas.
“Anda tahu kalau haji itu valasnya riyal. Lalu apakah dana di BPKH untuk memperkuat rupiah. Beda. Tujuannya untuk keperluan jamaah haji. Uang kita rupiah keluar dalam bentuk riyal. Kalau tidak di mix macth bisa rugi terus,” ujar Anggito, Jumat (5/6).
Dia menyatakan BPKH tidak berinvestasi pada proyek infrastruktur manapun. Sebab, berisiko tinggi. Investasi yang dilakukan BPKH, lanjutnya, berkaitan dengan kehajian yang memiliki profil risiko rendah hingga menengah.
"Jamaah dapat melihat investasi yang dilakukan BPKH. Dana haji tidak ditempatkan di lembaga nonsyariah. Mereka juga memiliki dewan pengawas syariah yang bertugas pengawal pengelolaan dana tersebut secara syariah. Selain itu, juga berpegang pada Dewan Syariah Nasional," papar mantan Dirjen Haji dan Umrah Kementerian Agama itu.
Anggito menambahkan BPKH tidak melakukan investasi valuta asing. Yang dilakukan hanya untuk melindungi nilai dana haji dan keperluan haji. “Tidak ada trading. Tidak ada beli valas untuk investasi. Karena itu termasuk riba. Memanfaatkan situasi buruk dan dapat marjin itu tidak boleh, riba,” ucapnya.
BPKH, menurut Anggito, hanya melakukan investasi syariah. BPKH memang membeli sukuk global. Dia menjelaskan, sebenarnya sudah melakukan nota kesepahaman due diligence katering dan hotel di Arab Saudi. Namun terhenti karena pandemi COVID-19.
"Rencana investasi tersebut, memperhitungkan nilai manfaat, nilai valas dan untuk pelayanan jamaah haji," pungkasnya.
Terpisah, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) menegaskan pemerintah harus mengantisipasi dampak pembatalan keberangkatan jamaah haji maupun perusahaan penyelenggara. Menurutnya, keputusan pemerintah tersebut dapat dipahami. Mengingat pandemi COVID-19 di seluruh dunia belum berakhir.
"Perlu ada langkah yang diambil. Jangan sampai justru menimbulkan permasalahan baru. Baik terhadap calon jamaah maupun perusahaan penyelenggara haji dan umrah. Kementerian Agama harus duduk bersama mencari jalan keluar atas permasalahan teknis yang timbul akibat kebijakan tidak memberangkatkan haji Indonesia. Sebab, pemerintah Arab Saudi hingga saat ini belum memberikan kepastian apakah menerima jamaah haji atau tidak," terang mantan Ketua DPR RI tersebut.
Menurutnya, jika nanti pemerintah Arab Saudi mengeluarkan kebijakan tidak menerima jamaah haji, maka perusahaan penyelenggara haji Indonesia bisa mudah mengajukan refund hotel dan biaya lain yang telah dikeluarkan untuk para jamaah.
Sebaliknya, jika Arab Saudi memutuskan tetap menerima jamaah haji, tentu akan menyulitkan proses pengajuan pengembalian dana. "Saya akan sampaikan ke pimpinan DPR RI agar Komisi VIII DPR RI bisa memfasilitasi pertemuan tersebut," ucap Bamsoet.
Selain itu, dia juga meminta pemerintah membuka kemungkinan memberikan stimulus kepada perusahaan penyelenggara haji dan umrah. Paling tidak berupa keringanan pajak. Sejak Februari 2020, lanjut Bamsoet, perusahaan penyelenggara haji dan umrah tidak memberangkatkan jamaah umrah.