Dimasukannya eks Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi ke dalam daftar pencarian orang (DPO) dinilai hanya akal-akalan. Menetapkan Nurhadi DPO agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak melakukan pemanggilan atau pemeriksaan. Sehingga jika tidak ada info dari masyarakat tak perlu diungkap.
Mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW) mengkritik lembaga yang pernah dipimpinnya tersebut lama dalam menangkap Nurhadi.
"Pertama, Februari tahun ini salah seorang lawyer yang biasa menangani kasus-kasus korupsi Saudara Maqdir Ismail itu merilis KPK ini berlebihan kalau pakai anak muda sekarang KPK lebay. Kenapa berlebihan? Mengapa mesti menerapkan DPO? Nurhadi-nya ada di Jakarta," katanya dalam diskusi daring berjudul "Akhir Pelarian Nurhadi: Apa yang Harus KPK Lakukan?" di Jakarta, Jumat (5/6).
Dengan pernyataan Maqdir, kuasa hukum Nurhadi yang menyebut KPK berlebih menetapkan status DPO, artinya Nurhadi ada di suatu tempat di Jakarta.
"Kira-kira ada pernyataan seperti itu dan sekitar 20 Februari kemudian ada pernyataan sebenarnya Nurhadi ada di suatu tempat tertentu," kata BW.
Artinya, Nurhadi sebenarnya bergerak di seputaran Jakarta Selatan, yang juga lokasi dari Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan. Oleh karena itu, mengapa KPK tidak menangkapnya meskipun sudah ada informasi bahwa Nurhadi berada di Jakarta.
"Kalau dia ada di seputaran Jakarta dan KPK yang pada hari ini tidak mampu mengungkap dia, itu 'kan masalah besar. Bagaimana kalau orangnya keluar Jakarta, di Jakarta saja tidak sanggup. Itu 'kan pertanyaan dasar seperti itu," ungkapnya.
Atas hal tersebut, Wakil Ketua KPK periode 2011—2015 ini pun menduga penetapan DPO terhadap Nurhadi hanya "akal-akalan" saja.
"Jadi, pertanyaannya adalah jangan-jangan men-DPO-kan orang itu adalah bagian dari strategi. Kalau sudah DPO 'kan dia tidak usah dipanggil-panggil lagi. Kalau tidak ada informasi dari publik kita tidak perlu ungkap-ungkap, apalagi menangkap dia," ujarnya.
Selain itu BW juga mengatakan tertangkapnya Nurhadi bisa dijadikan KPK untuk membuka pintu mafia peradilan. Sebab Nurhadi bisa disebut sebagai dark prince of injustice di lembaga peradilan.
"Dalam sejumlah diskusi, Nurhadi disebut sebagai dark prince of unjustice jadi dalam pasar gelap ketidakadilan, dia (Nurhadi) yang mengatur semuanya, mengelola seluruh transaksi. Dari titik ini artinya kita bisa membongkar kasus lebih dahsyat lagi dibanding kasus saat ini Rp46 miliar, kasus ini bisa di-profile lebih besar lagi," katanya.
BW mengatakan pimpinan MA yang baru juga dapat menjadikan hal ini sebagai momentum bersih-bersih karena Nurhadi pasti punya jaringan cukup kuat. Apalagi, korupsi tidak mungkin dilakukan sendiri karena Nurhadi punya messenger (pengantar pesan) yang sebagian ada di sistem MA.
"Tidak mungkin di luar, Sekjen MA adalah pintu masuk ke berbagai kekuasaan di negara ini," katanya.
Menurut BW, jabatan sebagai Sekjen MA potensial untuk berkomunikasi dengan hampir seluruh pencari keadilan di Indonesia.
Sekjen MA diduga punya kepentingan siapa yang lolos sebagai calon hakim agung. Nurhadi tidak bisa dipandang hanya pada kasus Rp46 miliar.