Tingkat pengangguran, menurut data BPS pada Februari 2020 menembus angka 6,88 juta orang atau bertambah 60 ribu orang dibandingkan periode sama tahun lalu.
Situasi yang serba tidak pasti ini, jelas memunculkan risiko bertambahnya penduduk miskin dan penggangguran karena wabah Covid-19.
Pengamat Kebijakan Publik Maruli Hendra Utama mengatakan jika bertambah semakin banyak, maka tugas pemerintah dalam memulihkan keadaan juga akan semakin berat.
”Pertumbuhan ekonomi bukanlah sekadar persentase angka belaka namun memiliki gambaran besar perekonomian suatu negara. Jadi selaras atau tidak dengan kondisi yang ada saat ini, jelas ini kambaran yang lebih faktual,” jelasnya kepada Fajar Indonesia Network (FIN), Minggu (7/6).
Mantan aktivis 98 ini menambahkan, dua skenario pemulihan ekonomi yang diberlakukan pemerintah setelah terdampak wabah virus corona (Covid-19), Maruli melihat ini hal yang paling relevan.
”Kalau bicara angka 2,3 persen untuk skenario pertama dan paling buruk 0,4 persen itu semua bagian dari akumulatif. Publik tidak tahu soal angka-angka itu. Kini kerja keras harus ditempuh agar ekonomi Nusantara tidak sampai menyentuh level negatif dan manfaat yang dilakukan benar-benar terasa. Sekali lagi bukan angka,” tegas mantan Dosen Sosiologi Untirta itu.
Yang pasti sambung dia, jika pertumbuhan ekonomi Indonesia menyentuh negatif, ancaman terbesar adalah kemiskinan dan pengangguran yang jatuh lebih dalam. BPS mencatat pada September 2019, Indonesia memiliki penduduk miskin mencapai 24,79 juta atau menurun 0,88 juta dibandingkan periode sama tahun 2018.
”Terpenting adalah sikap optimisme dan kerja keras yang harus terus dibangun. Bangsa ini sudah biasa menderita. Angka hanya parameter pencapaian. Yang terpenting relevan tidak dengan kemakmuran dan pertumbuhan yang dirasakan,” tandasnya.
Terpisah, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, pemerintah memang harus membuat kebijakan baru untuk menahan laju kemiskinan dan pengangguran yakni dengan melebarkan defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2020. Dengan defisit yang diperlebar, maka pemerintah merevisi postur APBN tahun 2020 untuk yang kedua kalinya.
Sebelumnya dalam revisi pertama sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 tahun 2020, defisit APBN mencapai 5,07 persen sebesar Rp852,9 triliun menjadi 6,34 persen sebesar Rp1.039,2 triliun. Dengan begitu, Perpres 54 tahun 2020 ini akan direvisi untuk mengubah struktur fiskal yang digunakan untuk penanganan Covid-19 dari sisi kesehatan dan pemulihan ekonomi nasional (PEN). Total alokasi yang dianggarkan pemerintah mencapai Rp677,20 triliun sebagai stimulus fiskal. Dari jumlah tersebut, biaya untuk PEN mencapai Rp589,65 triliun yang dibagi dalam dua garis besar yakni untuk menopang biaya konsumsi masyarakat (demand) dan untuk sektor usaha atau produksi (supply).
Untuk sisi konsumsi masyarakat, pemerintah mengalokasikan Rp205,20 triliun dan sisi produksi atau sektor usaha mencapai Rp384,45 triliun. Jika diurai lebih lanjut, biaya menopang konsumsi masyarakat itu digelontorkan dalam bentuk perlindungan sosial sebesar Rp203,9 triliun meliputi perluasan program keluarga harapan (PKH), sembako, bantuan sosial di Jabodetabek dan luar Jabodetabek.
Kemudian, kartu prakerja, diskon tarif listrik, logistik/pangan/sembako serta bantuan langsung tunai dana desa. Tak hanya itu, juga dialokasikan insentif perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sebesar Rp1,3 triliun.
”Sedangkan, dari sisi sektor usaha, pemerintah mengalokasikan Rp384,45 triliun yang mendukung kapasitas produksi dari segala sisi terdiri dari subsidi bunga untuk usaha mikro kecil menengah (UMKM) sebesar Rp35,28 triliun,” urainya.
Kemudian, penempatan dana untu…