Mitos Warga di Kuningan Dilarang Makan Gambas, Apa Akibatnya

Mitos Warga di Kuningan Dilarang Makan Gambas, Apa Akibatnya

Mitos dilarang makan gambas di Kuningan-freepik-

radartegal.com – Ada mitos bagi warga di Kuningan untuk dilarang makan gambas atau oyong. Bukan sekedar tahayul, ternyata ada cerita panjang yang memicu mitos ini muncul.

Mitos dilarang makan gambas di Kuningan ini begitu dijunjung oleh penduduk lokal. Sebab, ada hal yang erat dikaitkan dengan tokoh jaman dulu dan bisa jadi bentuk ‘tidak hormat’ kepada tokoh tersebut.

Munculnya mitos dilarang makan gambas di Kuningan ini memang cukup unik sekaligus menarik. Bukan dikaitkan dengan hal mistis, namun menjadi salah satu etika penduduk kepada tokoh terkenal tersebut.

Berikut mari bahas tuntas seputar mitos dilarang makan gambas di Kuningan. Benarkah bisa bawa sial jika dilanggar?

BACA JUGA: 4 Mitos Tersembunyi di Balik Keindahan Tanah Lot Bali

BACA JUGA: Mitos Rumah Jejer Dua, Benarkah Pembawa Sial? Ini Faktanya!

Mitos dilarang makan gambas di Kuningan

Tiap daerah pasti memiliki mitos yang unik, termasuk Kuningan, Jawa Barat. Asal mula mitos ini cukup unik, berkaitan dengan Pangeran Arya Kemuning, yang merupakan pemimpin pasukan Cirebon saat melawan Kerajaan Rajagaluh.

Ketika perang terjadi, konon Pangeran Arya Kemuning terjatuh karena kakinya terjerat atau terikat oleh tumbuhan oyong (gambas). Akibat terjatuh ini, Pangeran Arya Kemuning kalah dalam peperangan dan menjadi tawanan perang.

Mitos larangan makan oyong atau gambas di Kuningan ini sebagai bentuk penghormatan kepada pemimpin tersebut. Kejadian nahas yang terjadi pada pangeran saat itu yang membuat masyarakat tidak mengonsumsi gambas.

Sebab, tanaman tersebut yang menjadi nasib sial dan berujung membuat pangeran kalah saat perang. Maka dari itu, muncul mitos pantangan makan gambas atau oyong tersebut.

BACA JUGA: 6 Mitos Lokal yang Bisa Datangkan Hujan, Ada Ritual Unik Ini

BACA JUGA: Pesan Moral dari Mitos Gunung Gede Pangrango, Tak Sekedar Mistis

Hal ini dilakukan oleh masyarakat sebagai bentuk hormat sekaligus menghindari nasib buruk, sebagaimana yang sudah menimpa pangeran saat itu. Menariknya kepercayaan ini masih terus berjalan sampai sekarang.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: