Tiga Alasan Siskaeee Suka Pamer 'Barang'-nya, Psikolog: Ini Penyimpangan Seksual Tapi Bisa Disembuhkan

Tiga Alasan Siskaeee Suka Pamer 'Barang'-nya, Psikolog: Ini Penyimpangan Seksual Tapi Bisa Disembuhkan

Kebiasaan Siskaeee yang bernama lengkap Fransiska Candra memamerkan alat kelamin atau bagian tubuh sensitifnya di ruang publik tergolong sebagai eksibisionisme. Menurut psikolog Jatu Anggraeni, aksi eksibisionisme yang dilakukan Siskaeee itu tergolong sebagai penyimpangan seksual.

Psikolog yang memeriksa kejiwaan Siskaeee ini menjelaskan eksibisionisme dilakukan untuk mendapatkan kepuasan seksual. Utamanya untuk mendapatkan reaksi terkejut atau kaget dari orang yang melihatnya.

“Tindakan mempertontonkan alat kelamin atau bagian dari tubuhnya terkait aktivitas seksual kepada orang lain, tapi orang lain ini tidak mau (melihat),” jelasnya di Mapolda DIJ, Selasa (7/12).

Jatu mengungkap sejatinya ada sejumlah faktor yang mendorong Siskaeee melakukan eksibisionisme. Pertama, adalah kondisi biologis, karena adanya dorongan seksual yang terlalu tinggi.

Kedua, sikap diri yang anti sosial sehingga tidak bisa melakukan interaksi dengan normal kepada individu lainnya. Sedangkan ketiga, dipicu adanya kekerasan seksual atau trauma seksual yang pernah dialami sebelumnya.

Kondisi ini disebut Jatu semakin diperparah dengan adanya kesalahan pola asuh orangtua, saat pelaku eksibisionis masih berusia muda.

“Sehingga terjadi penyimpangan seksual ini. Komorbidnya, biasanya gangguan penyimpangan seksual disertai depresi atau bipolar,” jelasnya, dikutip dari Radar Jogja.

Jatu memastikan seorang penderita eksibisionisme bisa disembuhkan. Akan tetapi, hal itu memerlukan komitmen kuat dari penderita atau pelaku eksibisionisme.

Namun yang tak kalah penting adalah adanya pendampingan yang konsisten dari pendamping yang bisa dilakukan melalui terapi. Tapi, terapi dimaksud Jatu juga harus dilakukan secara bertahap.

Salah satu metode yang bisa diterapkan adalah kognitif behaviour. Diawali dengan teknik aversif untuk meredam hasrat seksual. Lalu teknik desensitisasi untuk mengurangi kecemasan dalam diri.

Desentisasi ini juga agar pelaku bisa menyalurkan hasrat seksualnya secara normal. “Lalu ada role play untuk melatih berinteraksi sosial, menjalin relasi baru, melatih empatu dan melatih problem solving,” terangnya.

Dalam pendampingan, Jatu menuturkan Siskaeee bertindak dalam kondisi sadar. Hanya saja ada pemahaman yang kurang atas tindakan yang melanggar norma.

Ini karena aksi Siskaeee hanya untuk memenuhi hasrat yang mengarah pada tindakan negatif.

“Pelaku terkadang tidak mempunyai interaksi yang baik. Empati ditingkatkan, lalu kalau punya permasalahan, bagaimana mengatasinya bukan dengan cara seperti ini,” tandasnya. (pojoksatu/zul)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: