China Minta Pengeboran Minyak di Natuna Dihentikan, DPR: Tak Ada Kata Mundur untuk Indonesia

China Minta Pengeboran Minyak di Natuna Dihentikan, DPR: Tak Ada Kata Mundur untuk Indonesia

Pemerintah China disebut meminta Indonesia untuk menghentikan pengeboran minyak dan gas alam di wilayah maritim Natuna yang dianggap oleh negara itu sebagai bagian dari wilayah mereka. Tak ayal, ketegangan pun memuncak di perairan Laut China Selatan.

Tuntutan itu belum pernah terjadi dan belum pernah dilaporkan sebelumnya. Hal ini pun meningkatkan ketegangan atas sumber daya alam antara kedua negara di wilayah yang bergejolak dengan kepentingan strategis dan ekonomi global.

Dilaporkan Reuters bahwa satu surat dari para diplomat China kepada Kementerian Luar Negeri Indonesia dengan jelas meminta Indonesia untuk menghentikan pengeboran di rig lepas pantai sementara. Alasannya, karena itu terjadi di dalam wilayah China.

Hal itu disampaikan oleh seorang anggota Komisi Keamanan Nasional pada DPR RI, Muhammad Farhan dikutip, Jumat (3/12).

Menanggapi hal itu, Anggota Komisi VII DPR-RI dari Fraksi Demokrat, Sartono Hutomo mengatakan tidak ada kata mundur bagi Indonesia. Karena hal ini menyangkut dua hal yang sangat prinsipil yaitu kedaulatan negara dan kedaulatan energi.

"Terkait protes China terkait pengeboran minyak di Laut Natuna, sebagai wakil rakyat saya mendorong sikap tegas pemerintah, karena ini terkait dua hal sekaligus. Pertama ini terkait kedaulatan negara dan kedua terkait kedaulatan energi," ujar Sartono kepada fin.co.id, Jumat (3/12).

Sartono menegaskan dua hal tersebut tidak untuk dinegosiasikan, tetapi untuk dipertahankan. Ia menyebut pemerintah harus memanfaatkan momentum Presidensi G20 untuk memperjuangkan yang memang seharusnya menjadi hak Indonesia.

"Ketegasan kita terhadap China harusnya sekarang menjadi momentum karena Indonesia selama setahun kedepan menjadi Presidensi G20. Sehingga perlu menegaskan sikap terkait batas negara di forum tersebut," tegasnya.

Indonesia sendiri sebelumnya menekankan bahwa bagian ujung selatan dari Laut China Selatan merupakan zona ekonomi eksklusifnya di bawah Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tentang Hukum Laut dan menyebutnya sebagai Laut Natuna Utara tahun 2017.

Namun demikian China keberatan dengan perubahan nama itu dan bersikeras menyatakan jalur perairan itu berada dalam klaim teritorialnya di Laut China Selatan yang ditandai dengan 'sembilan garis putus-putus' berbentuk huruf U -- batas yang dinyatakan tidak memiliki dasar hukum oleh Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag tahun 2016 lalu.

"Itu (surat dari China-red) sedikit mengancam karena itu menjadi upaya pertama diplomat-diplomat China mendorong agenda sembilan garis putus-putus mereka terhadap hak-hak kami di bawah Hukum Laut," ucap Farhan kepada Reuters. (git/zul)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: