Mustofa Ciputra
Oleh: Dahlan Iskan
"YANG tidak bisa dipakai semua janganlah dibuang semua".
Semua santri di pondok pesantren mempelajari prinsip itu. Tapi hanya Kholid Mustofa yang mempraktikkannya dalam bisnis di tengah pandemi.
Covid-19 membuat bisnis Mustofa harus tutup. Enam bulan penuh. Dibuka pun tidak akan ada yang datang.
Maka selama enam bulan itu seluruh karyawannya harus tetap masuk: 400 orang. Mereka sibuk memasang lantai, menanam pohon, membuat kolam, memasang atap, merapikan parit.
Begitu PPKM dilonggarkan perluasan proyeknya sudah rampung. Rapi.
Itulah taman rekreasi Kampung Cokelat. Yang letaknya benar-benar di desa kecil di kabupaten kecil. Sekitar 15 Km dari kota kecil Blitar.
Saya ke objek wisata itu Sabtu lalu: senam dansa di situ. Di salah satu plaza indoor-nya yang luas. Sambil jadi tambahan tontonan bagi pengunjung.
"Sekarang, kalau Sabtu begini jumlah pengunjung sudah bisa mencapai 5.000 orang," ujar Mustofa. "Sebelum Covid bisa 8.000 orang," tambahnya.
Itulah sebabnya Mustofa melakukan perluasan selama PPKM-4. "Sekarang Kampung Cokelat ini menjadi 4,5 hektare," katanya.
Ketika kendaraan saya menjauhi kota Blitar memang kian terasa seperti kian ke pedesaan. Tapi begitu memasuki Desa Plosorejo, di kecamatan Kademangan, langsung terasa memasuki daerah turis beneran: banyak bus wisata parkir di desa itu.
Inilah bedanya. Objek wisata di pedesaan biasanya baru hidup kalau ada gunung yang berdewa, ada danau yang indah atau ada air terjun bidadari mandi. Sedang di Plosorejo ini hanya ada Mustofa.
Ia lulusan Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang. Itulah salah satu pondok berbintang sembilan di lingkungan NU. Pendirinya: almarhum KH Wahab Hasbullah –mantan Rais Aam Syuriah PB NU yang juga ayahanda menteri agama almarhum Wahib Wahab.
Mustofa kelahiran desa itu. Ayahnya kiai kampung di situ. Sambil berdagang kecil-kecilan. Juga petani dengan luas tanah setengah hektare.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: