Jaksa Agung Akan Kaji Hukuman Mati untuk Koruptor, ICW: Lebih Baik Pidana Badan dan Pemiskinan
Rencana Jaksa Agung ST Burhanuddin mengkaji penerapan hukuman mati kepada para koruptor dikritisi Indonesia Corruption Watch (ICW). Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menilai rencana penerapan hukuman mati bagi koruptor hanya sebatas jargon politik.
"Maka dari itu, lebih baik perbaiki saja kualitas penegakan hukum, ketimbang menyampaikan sesuatu yang sebenarnya tidak menyelesaikan permasalahan," kata Kurnia dalam keterangannya, Jumat (29/10).
Ia menganggap meski jargon tersebut kerap digaungkan, dalam praktiknya kualitas penegakan hukum yang dilakukan masih buruk. Pada akhirnya, ada kesan ketidaksinkronan dengan realita yang terjadi.
Kurnia menyatakan terdapat dua hal yang dapat dianalisis atas realita tersebut. Pertama, ihwal efektivitas hukuman mati sebagai efek jera untuk menekan angka korupsi.
Menurut ICW, efek jera akan maksimal apabila hukuman yang dijatuhkan merupakan kombinasi dari pidana badan dan pemiskinan. Bukan dengan menjatuhkan hukuman mati.
"Mulai dari pemidanaan penjara, pengenaan denda, penjatuhan hukuman uang pengganti, dan pencabutan hak politik," ucapnya.
Kedua, perdebatan soal kualitas penegakan hukum yang telah memberikan efek jera kepada koruptor. Bagi ICW, masih ada banyak hal yang perlu diperbaiki dalam penegakan hukum di Indonesia.
Ia mencontohkan kala Kejaksaan Agung menangani perkara yang menjerat oknum internalnya Pinangki Sirna Malasari.
"Saat itu, Kejaksaan Agung menuntut Pinangki dengan hukuman yang sangat rendah. Dari sana saja, masyarakat dapat mengukur bahwa Jaksa Agung saat ini tidak memiliki komitmen untuk memberantas korupsi," ucap Kurnia.
Terlebih, lanjutnya, terdapat fenomena diskon hukuman terhadap koruptor. ICW mencatat, pada 2020, hukuman penjara yang dijatuhkan koruptor hanya sebatas tiga tahun satu bulan penjara.
"Sedangkan, pemulihan kerugian keuangan negara juga menjadi problematika klasik yang tak kunjung tuntas. Bayangkan, kerugian keuangan negara selama tahun 2020 mencapai Rp56 triliun, akan tetapi uang penggantinya hanya Rp19 triliun," tandas Kurnia. (riz/zul)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: