Ajukan Judicial Review AD/ART Partai Demokrat, Yusril Gandeng Wisudawan Terbaik Program Doktor UMI

Ajukan Judicial Review AD/ART Partai Demokrat, Yusril Gandeng Wisudawan Terbaik Program Doktor UMI

Langkah mengajukan judicial review Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat ke Mahkamah Agung Republik Indonesia sengaja ditempuh Yusril Ihza Mahendra.

Demi kepentingan teknis peradilan dalam proses pemeriksaan perkara Judicial Review AD/ART Partai Demokrat oleh MA, Yusril Ihza
menghadirkan ahli yang relevan dengan pokok perkara tersebut.

Mereka di antaranya Dr Hamid Awaludin, Prof Dr Abdul Gani Abdullah, dan Pakar Hukum Tata Negara Dr Fahri Bachmid, untuk melengkapi dan memperkuat dalil permohonan judicial review yang akan diperiksa dan diputus oleh MA.

Pemilihan pakar tersebut terkait dengan kesediaan pengacara kondang ini membela empat kader Partai Demokrat yang dipecat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). 

“Iya benar, saya diminta serta diajukan sebagai ahli dalam perkara judicial review ini oleh Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra,S.H.,M.Sc dan Kantor hukum Ihza & Ihza Law Firm SCBD-Bali Office sesuai kapasitas akademik dan keilmuan saya. Dan secara lengkap keterangan saya telah disampaikan dan menjadi bagian dari berkas permohonan untuk kepentingan pemeriksaan perkara judicial review di MA,” ujar Fahri Bachmid, wisudawan terbaik Program Doktor Universitas Muslim Indonesia Makassar ini, Selasa (28/9).

Menurut Fahri, gugatan AD/ART Demokrat era Agus Harimurti Yudhoyono tersebut merupakan suatu isu sekaligus permasalahan negara yang harus dipecahkan secara serius dan tuntas melalui suatu terobosan hukum dan keputusan yang lebih prospektif serta futuristik untuk perbaikan “kesisteman” partai politik di indonesia kedepan. Juga dalam bingkai prinsip negara hukum yang demokratis serta demokrasi konstitusional.

“Ketika Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra,S.H.,M.Sc mengajukan permohonan ini ke MA, kita secara sadar harus mahfum bahwa masalah AD/ART Partai Politik secara hukum peraturan perundang-undangan kita luput menjangkau serta mengatur soal masalah ini,” katanya.

Sebab secara hipotetis, Fahri mengatakan bagaimana bila AD/ART parpol bertentangan dengan misi dan tujuan parpol seperti yang diatur dalam perundang-undangan partai politik? Karena UU No. 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik hanya mengharuskan bahwa AD/ART sebuah parpol memuat visi dan misi, azas dan ciri, nama, lambang, tanda gambar, kepengurusan dan mekanisme pemberhentian anggota.

“Dan tidak ada satupun perintah yang bersifat imperatif dan kewajiban bagi parpol agar AD/ART mereka sejalan dengan tujuan parpol yang dimandatkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi di atasnya,” tandasnya.

Sedangkan di sisi lain AD/ART adalah peraturan dasar “hukum “ yang mengatur secara internal parpol. Dijelaskan Fahri, anggota parpol bisa diberhentikan karena melanggar AD/ART partai politik. Dengan demikian, lanjut dia, jika corak dan karaker kepemimpinan parpol yang despotisme, oligarkis, elitisme, serta feodel maka tentu secara hukum sudah tidak sejalan dengan tujuan asasi parpol untuk mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan pancasila dan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat sesuai perintah peraturan perundang-undangan.

“Bahwa memang jika dilihat secara lebih seksama dan mendalam, terkait ketiadaan aturan hukum “legal vacuum” yang dapat menjangkau fenomena hukum tersebut di internal parpol, jika suatu AD/ART melanggar konstitusi atau UU diatasnya, maka yang dibutuhkan adalah suatu langkah terobosan “breakthrough” secara hukum sema-mata untuk tercipta tertib norma hukum secara berjenjang,” tukas Fahri Bachmid.

Fahri mengatakan, proses pengajuan judicial review AD/ART Demokrat ke MA tersebut secara yuridis akan berimplikasi menjadi terobosan hukum “rule breaking” penting dan signifikan dalam tata hukum nasional oleh MA RI. Dan secara teoritik hal tersebut sangat dibolehkan kalau bukan dikatakan dianjurkan. 

Artinya, kata Fahri, ada implikasi yang ditimbulkan dengan adanya kekosongan hukum terhadap hal-hal atau keadaan yang tidak atau belum diatur itu dapat terjadi ketidakpastian hukum itu sendiri “rechtsonzekerheid” atau ketidakpastian peraturan perundang-undangan di masyarakat, yang lebih jauh lagi akan berakibat kepada kekacauan hukum “rechtsverwarring” itulah urgensi dan pentingnya dari “lagal action” ini sesungguhnya.

“Sehingga berangkat dari keadaan serta kebutuhan itu, maka idealnya pengaturan terhadap produk AD/ART Partai Politik telah harus diciptakan pranata pengujiannya oleh kekuasaan yudisial sesuai orientasi cita-cita negara hukum,” paparnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: